2.29.2012

Bahasa Medan Itu Gaul

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Chief Executive Officer (CEO) www.letterater.com, Bambang Saswanda, situs yang telah menghabiskan dana pribadinya sekitar Rp 100 juta tersebut, ia katakan pula akan terus dikembangkan. Meski pada bulan November 2011 lalu ada tawaran investor yang menggelontorkan dana ke situs tersebut, Bambang menjelaskan sama sekali belum tertarik.
"Rata-rata investor yang ingin menggelontorkan dana ke situs ini masih bersifat personal. Belum ada perusahaan-perusahaan yang memberikan penawaran ke kita. Tetapi intinya bukan di sana, potensi besar situs jejaring sosial cukup besar di Indonesia apalagi kami akan melakukan renovasi agar situs ini bisa diakses melalui seluruh perangkat gedget," ujarnya di Medan, Selasa (28/2/2012). Dikesempatan yang sama, Bambang menjelaskan setelah resmi mengeluarkan versi www.letterater.com untuk Blackberry, pembaharuan situs akan kembali dilakukan untuk mempercantik tampilan. Situs www.letterater.com, yang pada saat ini menempati posisi sekitar 1.200 dunia dan duduk di posisi 30 ribu untuk nasional di situs Alexa, ia katakan sudah cukup baik dibanding media-media online yang malah tidak memiliki konsep sama sekali. "Pada hari ini saya sekaligus ingin menyampaikan kekecewaan. Kami ini sebagai penghasil karya bukan penikmat karya, tetapi anehnya tidak ada apresiasi yang dilakukan pemerintah. Kami bukan meminta dana, paling tidak sosialisasi yang jelas bahwa anak Medan mampu menghasilkan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter sudah lebih dari cukup," ujarnya. Lanjut Bambang, dalam pengembangan situsnya kedepan tim letterater, yang dipunggawai olehnya akan menghadirkan materi-materi khas Sumatera Utara. "Kenapa orang Medan pakai bahasa loe dan gue. Saya kira ungkapan kau, aku, bah, lae, lebih pantas. Bahasa Medan itu gaul kenapa kita meniru Jakarta dalam berbahasa," pungkasnya.(Irf/tribun-medan.com) Penulis : Irfan Azmi Silalahi Editor : Wiwi Sumber : Tribun Medan

Letterater Resmi Publis di Perangkat Blackberry

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Seakan ingin menyamai sukses Facebook dan Twitter, situs jejaring sosial asli Medan www.letterater.com, resmi mengeluarkan layanan di mana situs tersebut mampu diakses pada perangkat Blackberry. Dari penuturan Chief Executive Officer (CEO) www.letterater.com, Bambang Saswanda, publis situs mereka dapat diakses pada perangkat Blackberry terjadi pada, Selasa, 28 Februari, sekaligus membuat produk mereka kini bisa digunakan untuk seluruh handphone. "Hari ini kami resmi launching situs jejaring ini bisa diakses melalui perangkat Blackberry langsung. Dengan ini seluruh perangkat handphone sudah mampu mengakomodir jejaring sosial buatan kami, kecuali sistem Android yang sebentar lagi akan kami jajaki," ujarnya, Selasa (28/2). Ditemui di kantornya Jalan DR Mansyur Medan, Bambang menjelaskan untuk saat sekarang pihaknya tengah membuka hubungan baik dengan beberapa perusahaan. Bahwa pernyataan mengejutkan diutarakan pria yang masih berstatus mahasiswa fakultas sastra Indonesia di USU ini. Katanya, letterater akan dilepas sahamnya ke pihak swasta jika ada yang tertarik. Namun dengan catatan, dirinya sebagai penemu dan perancang situs tersebut tetap ikut mengembangkan perusahaan. "Kami membuka kesempatan kepada beberapa pihak. Tidak hanya sebagai sponsor atau memasang iklan di situs ini, tetapi untuk membelinya kami siap. Dengan catatan kami tetap ikut bekerja dalam pengembangan situs," ujarnya.(Irf/tribun-medan.com) Penulis : Irfan Azmi Silalahi Editor : Wiwi Sumber : Tribun Medan

11.24.2011

Wanita Cantik dan Letterater

(catatan pribadi Mengikuti ajang Final Ide kreatif telkomselbootcamp FX Plaza Sudirman Jakarta)
"apa itu www.letterater.com?" tanya seorang wanita cantik pengusaha sukses peserta di ajang telkomselbootcamp beberapa waktu lalu, lama saya berpikir untuk menjawab, karena ada rasa minder berbicara dengan wanita ini
terlebih-lebih saat si wanita ini memperkenalkan diri di sesi perkenalan acara tersebut. dia adalah salah satu eksekutif muda sukses dengan ratusan klien dan omset ratusan juta rupiah setiap bulannya. benar-benar tampilan profesional muda.
berbanding terbalik dengan tampilan saya yang sungguh mudah ditebak, selain hanya bermodal ide dan semangat, saya juga tidak mengenakan jas dan dasi seperti peserta lainnya. duduk diantara ratusan peserta yang terlihat seperti kumpulan pengusaha-pengusaha di ajang anugerah orang terkaya sejagat raya.
setelah beberapa menit saya diam, si wanita tadi kembali melemparkan pertanyaan dengan kening berkerut keheranan, "apa itu www.letterater.com ?"
karena merasa terus didesak, saya mengumpulkan kembali sisa keberanian yang semula berserakan di lantai tempat kami berdiri. sebagai satu-satunya peserta yang berada di luar pulau jawa, saya hanya berpikir sederhana saja, di balik kepala saya ini ada ide yang tak terhingga harganya, itu yang mengantar saya ketempat ini. saya mulai mengangkat kepala yang semula tertunduk, menatap matanya, kemudian menjabat tangannya sambil sedikit senyum.
"www.letterater.com" itu adalah salon untuk pikiran, diciptakan di medan bersama teman saya Palit Hanafi Lubis" hanya itu yang bisa saya jawab. setelah menjawab saya mengeluarkan kartu nama yang sudah saya persiapkan sebelumnya, memberikan kartu tersebut dan meninggalkan wanita itu sendiri.
malam ini saya benar-benar terkejut. wanita cantik pengusaha muda itu mengirimkan pesan ke ponsel saya, - Hey teman jauh, apa kabar? saya tertarik untuk bekerjasama dengan letterater.com, ide kamu luar biasa, selain rasa indonesia yang kental, saya merasa jejaring sosial lokal harus menjadi prioritas di negeri ini. saya sudah login dan update tulisan saya, saya suka puisi. dan saya akan memulai dari letterater.com".
sampai saat ini saya belum membalas pesan si wanita tersebut, karena pikiran saya dipenuhi pertanyaan tentang keajaiban ide. mungkin saja wanita ini lelah dengan kebiasaan salon di tempat-tempat berkelas. selamat menikmati layanan salon pikiran www.letterater.com ibu pengusaha...!!
Medan. Sehari setelah pulang..!!

7.22.2011

Cerita www.letterater.com, Bagaimana ini dimulai

Diskusi itu kadang panjang sampai dinihari, semua dilalui dengan mencuri kesempatan, menertawakan kegagalan dan bermimpi suatu saat nanti bisa menelpon orang-orang yang kita cintai dari menara eiffel.

tetap kami harus katakan. bermimpi adalah pekerjaan gratis yang tidak menguras tenaga. dan darisana semuanya berawal.

aktifitas kami di kota ini sama seperti aktifitas mahasiswa kebanyakan. tidur larut malam dan kadang sampai pagi. kemudian siang harinya kami selalu kalah bangun dengan matahari.

Selayang 4a setiabudi medan

di rumah ini ide kami besarkan, mulai dari rencana gila untuk mengakuisisi google dan facebook sampai berencana beternak semut dan mengirimkannya ke berbagai kantor pemerintah.

rumah kontrakan kami memang tergolong unik, di kota medan yang serba padat ini kami tinggal di pinggiran sawah. suasana sunyi dan tetangga yang bersahabat. ini semua menjadi vitamin tersendiri untuk perkembangan ide yang biasa dimulai dengan celetukan dan canda yang kadang terkesan berlebihan.

www.letterater.com kemudian digagas dan dimulai. jreng..jreng..jreng

tarara..!!

mulailah kesibukan itu berlipat ganda, fokus dan kosentrasi dikuras habis. aktifitas semakin padat. ide yang semula terpacah menggumpal menjadi gumpalan padat yang disiap untuk digulirkan kapan saja.

konsep yang dibuat seolah-olah seperti merancang sebuah negara. detail visi yang dikembangkan secara terus menerus juga mulai menuntut keseimbangan. tiada hari tanpa layar komputer, surat menyurat, berkunjung ke kantor apa saja, bertemu siapa saja dan mencari kesempatan untuk menyampaikan visi ini sehingga orang sekitar kami mengerti kalau ide ini digarap bukan sekedar iseng dan mengisi waktu luang.

7.18.2011

Mahasiswa Medan Ciptakan Jejaring Sosial Imbangi Facebook

TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Sukses jejaring sosial, facebook dan twitter menjaring para user di seluruh dunia, ternyata mengilhami anak Medan untuk menciptakan sebuah program yang mirip seperti dua jejaring tersebut.
Bedanya, program yang diberi nama letterater, dominan ditujukan kepada para user yang hobi menulis sastra seperti puisi, cerpen, dan esai.

Seperti yang diutarakan Bambang Saswanda Harahap, yang mempunyai konsep bahwa dirinya melihat kelemahan facebook dan twitter semua orang boleh menulis tanpa ada batasan konten sama sekali.

Yang hasilnya, kualitas dari isi konten bisa dibilang tidak ada sama sekali dan lebih dominan hanya untuk prestise pengguna belaka.

"Sebenarnya yang memiliki konsep website jejaring sosial ini ada dua orang. Saya dan Palit Hanafi Lubis, yang saat ini masih berstatus mahasiswa S2 komputer Universitas Sumatera Utara (USU), Ujarnya.

"Kami juga mengajak tiga orang adik kelas kami untuk ikut merancang skema website ini antara lain Bambang Riyanto dan Rodiyah yang saat ini tercatat sebagai mahasiswa sastra USU serta Joshua dari kampus IBBI Medan jurusan komputer."

"Jadi sebenarnya kami ada lima orang," ujar angkatan 2006 Fakultas Sastra USU jurusan Perpustakaan yang sampai sekarang belum menyelesaikan skripsinya, Rabu (13/7/2011).

Ditemui Tribun di satu kafe kawasan Jalan DR Mansyur Medan, ia mengatakan www.letterater.com, sebenarnya formatmanya sama seperti jejaring sosial lainnya.
Bedanya mereka mencoba mengarahkan untuk user lebih bijak menulis apa saja di dalam dinding websitenya.

Misalnya, terdapat tab (pilihan halaman website) yang mereka ciptakan bernama puisi, cerpen, resensi film, resensi buku dan esai.

Editor: Anwar Sadat Guna | Sumber: Tribun Medan

5.22.2011

Kurasakan hujan lalu kudengar gerimis

aku yang dikutuk rupamu, menjadi kolam yang tergenang, berkaca di hutanmu, bercermin di rimbamu, seketika kutemukan dua larik penantian, yang satu adalah kebesaran gelisah yang menimbun jalan pulangku, dan kemudian di puntung terakhir kecemasan, mengepul sekumpulan kangen yang kabut : Kurasakan Hujan Sedang menyakitimu.

dan aku tidak sedang menggelar malam pada pelataran tanggal, atas nama rindu yang sedang mencari rupanya : kudengar gerimis sedang membantaimu



Pesta

kangen yang menumpuk sudah mengepulkan asap
sementara di samping rumah ada pesta pernikahan
kulihat kedua mempelai bahagia
sangat bahagia..!!!

Sesepi-sepi



tiba-tiba aku ingat kau
dengan segenap rasa tak berdaya
#mungkin kau tahu, kau telah ajarkan aku rasanya sendiri
dengan begitu lengkap

tidak pada sebotol anggur



tidak juga pada foto dalam bingkai. pesan-pesan singkat dan percakapan cinta beberapa tahun lalu yang kadang masih mengulang bila dikenang, aku mabuk- mabuk yang berat dan panjang- setelah menulis sajak-sajak tentang kepergian, tentang rahim yang diceritakan pada tong sampah dan kolong jembatan, kadang di halaman rumah mewah yang didalamnya penuh pertengkaran. lalu esoknya aku dikenalkan bahwa mabuk dan sadar sama-sama diciptakan dalam kenyataan.

Mencari Kabar



sampai disini bicara, aku ingin kau membaca betapa udara adalah musuh paling tajam di ujung mukamu, dan angin bukanlah lukisan, yang semesta buat bergetar untuk mencatat, sudah berapa banyak kata-kata yang hanyut ke langit. menyampaikan bagaimana Tuhan hadir sebelum sejengkal langkah dan setarik nafas, pun sebelum kita sempat berbuat baik atau dosa.

musim telah memecah belah kita, dalam kemarau panjang dan hujan yang tak berkesudahan, sementara kita sendiri menyadari kebaikan mewujud pada tempat paling rendah dan paling tinggi. lihatlah mereka berdoa menatap ke langit setelah itu mereka bersujud sampai kening mereka serendah kaki.

demikianlah tercatat. tidak akan pernah ada ketakutan untuk berbuat baik, dan seharusnya kebenaran adalah buah dari segala peristiwa, akar dari segala rencana, dan bunga dari segala hikmah- hingga kehidupan pantas dijadikan taman untuk mengisi kelanjutan cerita kelak, -kematian-

Tidak sepanjang pesan singkat




biarlah rindu berkecimpung di alirnya waktu
mungkin akan ada catatan, jalan dan pohon aru
tentang gadis pantai yang mengikat rambutnya menjadi abu
ia membiarkan kita mengenang masa, saat ia meminta gerhana membuat wajahnya di laut.

entah berapa kata yang kutuliskan di halaman yang telah penuh daun kering
menunggu hujan aku padamu, menunggu pasir-pasir hanyut ke selokan
meminta radang kesepianku lebih tenggelam lebih dalam lagi
menemui ajalnya di balik batu kali yang mengigil

ikan-ikan menuju muara
ia begitu lelah, mengendap di balik sampah-sampah masa lalu yang masih bergairah
seperti kataku beberapa waktu lalu.
: kita isi hidup tidak dengan sekedar mengumbar kangen, tidak lantas membuat cinta seolah-olah sepanjang pesan singkat yang harus dibalas. cinta itu disitu, dimuara menuju samuderanya. bersatu bersama waktu. bersama ajal lautan dan gunung-gunung. bersatu bersama keadaan yang nyata, tidak butuh ilusi, untuk memastikan apakah di dompetku masih tersimpan fotomu.

#di wajah puisi




seperti peluk yang khusyu'
pagi tidak kembali
pada petikan yang serupa

saatnya tiba
puisi berjalan pada takdirnya
untuk ditulis kembali
untuk dibaca sepanjang hayatnya

tiba waktunya
energi kita pulang pada sarangnya
dan yang sisa
adalah kertas-kertas masalalu yang diisi kenangan melebihi ukuran tubuhnya.

pada tanah
diceritakan televisi yang penuh gambar
kematian tidak punya arus, tidak punya kabel,
lihat saja betapa mudahnya ia padam

5.21.2011

Senja di kota hujan




dan telah sampai aku pada setumpuk kesakitan,
antri dalam kota mimpi yang sedang dibuahi hujan,
jalan-jalan sepi, cemara dan taman kota bercinta sendiri-sendiri,
trotoar pecah dan lampu jalan memuncak ke langit, meninggalkan gelap menyepi di sudut hari, mungkin akan ada kejutan saat kau pulang
mendapatiku telah menyatu menjadi bau aspal

Kubaca kau sendiri


kubaca lagi tulisan yang lama merumputi setiap halaman masalalu.
pada satu tanggal yang kisah aku melihat kau hadir sebagai satu-satunya yang melengkapi,
sebagai satu-satunya tempat menyatu, bersekutu, berpadu, berdecak, bersiul, berdengung, bahkan menggetarkan seluruh kesepianku, tanpa sadar aku sedang mencari kesunyian yang kau bawa
- mencari dirimu dalam lembar-lembar yang semakin meninggalkanku.

kempus pagi ini

aku melihat taman dan jalan kampus ini sedang berkecimpung menjadi masa lalu,


bahkan ruang kelas dan segenap catatan membusuk di sela jari-jari
mereka berjalan, dengan segenap harapan yang menjadi-jadi
anjinglah..!!

Pagi, kopi dan asapnya yang mengepul


di dalam genangan kopi pagi ini
ada kangen terapung
dan di asapnya
mengepul wajahmu

2.21.2011

Musim

sakaw pada kemarau panjang telanjang.
candu pada hujan tanpa pakaian.
aku?
waras tak waras mewarnaimu.

Panggil Aku Timur

panggil aku timur
dari jarak yang kita rangkul di sepertiga tatapan malam yang kusam
aku tidak sedang berdalih apakah cinta harus punya sebab
yang aku tahu hujan mengajarkan
di genangan air bekas kakimu aku tak mungkin membasuh mukaku
karenamu. aku menjadi unggun kesadaran untuk habis
lenyap
lindap
dan
ah
o
.

Secangkir Teh

membaca hujan dan matahari yang merajuk
sepuluh tahun yang lalu saat cangkir teh yang kita sedu belum kusam
kau selalu katakan hidup dan bayang itu bertalian
disini. ditengah pelaminan anak-anak kita yang segera pergi
aku tahu : kau sedang menyeruput genangan sepi.
sendirian.

Aku Kunjungi Makammu

aku kunjungi makammu
aku dihasut kenangan
aku temui kenangan
aku timbul tenggelam
aku berlalu
beranjak dari namamu
aku pecah

kembali

barangkali sudah kodratnya, pertemuan tak sendiri
kenangan dan pergi. diam-diam membuntuti.
oh ayah..!!

Lemari Baju

aku kunjungi lagi halaman tanggal di atas lemari baju
tanggal dengan bulan yang berhenti
lemari lapuk tanpa pewangi
kutemukan gaun pengantin yang kacau
entah sudah berapa lama beralalu
dari kejadian
api yang tak sempat dijinakkan

Dik

sore itu tua yang menatih
menghantar penat ke puncak kepundan
menata hari kah kau disana
bersama ibu oh adikku.

aku disini sedang mengantar mimpi lapuk rumah
ke dalam beranda yang sudah kita sepakati dari awal
nyanyi burung dan kelakar angin di teras
kecapi air mata, atau sedu sedan yang menggigit
esok dan kelanjutan hari yang harus kita terka

Adalah Sepi

sepi itu serdadu
punya matapanah sendiri
dan begitupun
ah sudahlah..!!

Mabuk

mungkin aku terlalu blues.
berhadapan denganmu yang lebih country
: vodka dan wine akan satu meja, jika kau dan aku sama-sama mabuk.

Doa Tidur

karena tabir yang kau curi adalah mantra, penghilang dari segala sakit karena rindu terjepit. simsalabim. kupejam mataku berharap kau tak lagi iseng batuk dalam mimpiku. oh ya aku hampir saja lupa. tingkahmu begitu purba untuk kukenang, kau candi yang begitu rapi menyimpan kenangan, arca perasaaan yang rumit. awas kalau kau senyum lagi. karena kutahu dibalik pintu kau sedang tersipu mendengar aku membaca puisi

Kangen

aku cukup tua untuk kau sajikan kangen yang lama dan berat
aku tak kuat

Aku Ingin Berkaca

sekalimat sudah kulantaikan di tubuh malammu
kutahu kau anggur yang netek di guci mabukku.

kutimang lagi kau seperti parade perkusi dan tetabuh gamang yang malang
ingat kalendermu yang gundah,

bening kaca jendela telah menetaskan wajahmu yang hanyut
bergelayut pada rintik hujan

selamat datang kepada biji matamu
: aku ingin berkaca.

Semusim Detak

Sehabis Hujan Rumah Kita

Aku tidak memaksamu untuk menggematarkan bibir

sujud kepada angin yang tajam

yang harus kau tahu Kita adalah bagian yang terpasung

dari musim yang tak pernah kita pinta

lekaslah bangkit

banyak di jalanan cahaya matahari yang gratis

untuk kita tanak menunggu kiamat.



Semusim

Aku tak kenal musim semi

sebelum merasa bibirmu yang basah

kaulah yang ajarkan gerak kaku ini menjadi cerita

tentang cinta lembut penuh sambut

: kemudian ketika awan tak serupa warna, jarum meninggalkan pukul angka,

di atas pemakaman, kurayu engkau dengan doa.





Detak

Di dada siapa rindu itu menerjemah

pungutlah, aku ingin mendengar detaknya





(Medan, Oktober 2010/Bambang Saswanda Harahap

10.11.2010

Harus Kubiarkan Sajak ini Menulisku

harus kubiarkan sajak ini menulisku

kemana saja ia suka dan kemanapun ia akan berhenti

kubiarkan

tulislah aku menjadi, hingga keluar kesunyian ini.



penghujan akhir tahun

diatas duka yang sedang ranum

kutuangkan arak dan tuak, membasuh lara disana

menjadiilah sajak hujan basah



izinkan Tuhan aku mabuk

hingga kudapati KAU dalam hilang sadar yang ambang

sebab jua sudah kutunggu berpuluh pinta

tak satupun, tampatMu yang bisa kulamar



harus kubiarkan sajak ini mengayuhku

sampai ombak menenang sampai arus tak urus

usaplah aku menjadi

laut dan pelangi



izinkan Tuhan aku membenciMu

hingga kudapati KAU menjadi sebentuk cinta

sebab jua sudah kupinang berkali datang

tak sekalipun, senyumMu dapat kutawar



harus kubiarkan sajak ini membawaku

sampai jalan kudapati rambu

kejarlah aku kepada

perhentian tanpa upah



izinkan Tuhan aku menuduhMu

hingga kudapati KAU menjadi siapa

hilanglah gamang pupuslah resah

tak sesiapa aku tanpaMu yang Maha





Panyabungan Mandailing Natal, Ramadhan 13/Bambang Saswanda Harahap

Kami Bukan DPO

kepada anak kami
Jikapun kemarau hari ini masih panjang
Hiruplah embun ketika kalian bangun esok pagi
Mungkin disana ada bau dan wajah yang bayang

Kepada istri kami
Sampaikan genggam tangan dan janji beberapa waktu lalu
Kepada bau rumah dan tungku
Kami baik-baik saja, semoga selalu

Kepada kampung halaman
Jangan lagi tanya seberapa perih dan takut kami
Sebab perih sudah ditanam
Sebab takut sudah ditikam

……………………………………………..

Kelam sedang menari di badan bulan
Menanda hidup lebih besar dari sekadar jalan
Kawan, zaman memaksa kita harus berburu
Dimana tubuh siap menjadi peluru

Kepada mereka para pemuka
Mari! Kita serah darah untuk kebenaran
Bertangan kesadaran. Berkepala kepercayaan
Menembus kabut terus di hari buta

Kata-kata adalah senjata
Mimpi-mimpi adalah kemudi
Aku berkata mempersatu jiwa
Mengimpi kendali mencipta abdi

sambil kucingan dengan aparat
Ayo! kita nikmati waktu yang sekarat

Hingga terkejar fajar
Sebelum nanti dalam dada ada gentar


Medan, Ranah Nata 2010
Bambang Saswanda, Mh Poetra

4.09.2010

dan perahu kertasku


kukayuhkan kepadamu syair perahu dari pelepah katamata dan aku ingin mengalamatkan kengen ini
dijantungmu. semalam saja mumpung hujan tak mengamuk seperti bulan kemarin yang selalu pucat

perahuku perahu kertas yang kutuliskan syair tentang kangen
ini kualamatkan kepadamu dengan mantra;
sampai bilakusampai makakusampai rindukutiba menaruh istilah.

bacalah sayang sesampai airmatamu menjenguk ketibaan yang tergesa

berlayarlah perahuku yah perahuku, lipatlah ombak dan angin menjadi pita rindu diburitan sajakmu
; aku menikam perasaan, hanya untuk bisa mengekalkan rindu kepadamu

bilapun sampai kepadamu malam ini segera kaualamatkan kepada kisah jika yang tiba dan pergi adalah kesemantaraan yang tak sempat kita tuliskan didalam catatan..

kesimpulannya hanyalah cara, dan betapa akhirnya adalah sesuatu yang tak mampu untuk kita maknai lebih dari sekedar kenang yang akan mengganggu malam ini dan malam berikutnya. sampai kita menyadari betapa rencana berhak menentukan apa yang terjadi atasnya. diluar pengaruh kau ataupun aku.

sampailah, biar kata bertegur sapa. tanpa kau ataupun aku yang menemani pertemuan


Medan/maret 2010
Bambang Saswanda Harahap

#kutulis satu (biar ini sampai kepada entah atau..)


berangkat dari kekalahan kita ingin menarik nafas untuk tumbuh mencari jalan pulang
kembali kedalam air susu ibu yang sesungguhnya adalah mata-mata tuhan
melihat kedahagaan menuju surga dalam selang waktu membentang
bersemedi anakmu dalam kulit arinya, menjadikan berpilu-pilu nada panjang menahan.

sepulang dari rantau ia mengupas kulit bawang di bawah jendela rumah
sesekali terdengar matanya berdesakan terkatup merapat membuka membuncah
sesekali meringis bibirnya menyesak terkatup merapat membuka mendesah
sesekali itung lamunya meraung tertakatup merapat membuka menjadi

Gelisah

puasalah nak dari menangis, sampai beduk nasip diketukNya
kata ibu yang mewarna uban di kepala

petang tiba jerang tungku menyala seperti menjilat lapar yang sedang menahan di lidah
senja sampai didih tanak melambung-lambung keujung-ujung menjangkau perut menangkap lambung
akhirnya tiba jua engkau nan gelap

malam bertamu
ia berbuka tangis
nasi belum dikunyah ibupun tiada
Tuhan menghidang kasihNya

puasalah nak dari menangis, sampai beduk nasip diketukNya


medan/19 maret 2010
04.50 Wib
Bambang Saswanda Harahap

# Permaianan satu (biar ini kutulis sampai kepada entah atau..)

ilalang. taukah kau tentang bayang-bayang jika dirimu adalah luka yang rapat. pucukmu renta menusuk paru-paru belalang. hinggap dan terbang lalu terhuyung dibawah bulan. mati dan semakin mati dan masih mati dan harus mati dan mati.

lalu di sebuah halaman sekolah bahasa tercecer kertas bekas pembungkus martabak. tertulis sajak mati dari seorang penyair yang entah berapa puluh kali kawin dan bercerai, tapi bukan dengan perempuan, ia kandas dalam katanya setelah rujuk dan pisah lalu rujuk lagi. hingga suatu saat ada perdamaian diantara mereka. saat dimana tubuh dengan rambut panjangnya tergeletak ditikungan jalan, menurut bisik tetangga penyair itu menuju kota mencari tuhan kata-kata, ingin menyerahkan selembar ijab kabul. namun naas jalannya patah dan ia berkeping tepat di bawah sebuah roda mobil besar buatan negara tetangga.

mati itukah kata yang diikuti tanda titik. atau hanya koma. setelah melepaskan diri dari siksa, ejaan mati akan melanjutkan perjalanan kedalam kalimat penutup.

kembali ke padang ilalang. menyaksikan angin dan capung bermain-main diantara tali layang-layang.
kata-kata dan kematian akan saling meninggalkan bekas. seperti tarian ilalang, setelah angin berlalu maka hujan berlabuh, meninggalkan bekas basah yang akan mengering lalu menghinggap lalu para capung berpesta pora melepas dahaga, dan.. semuanya akan seperti itu, tiba dan pergi lalu tiba dan pergi lagi hingga tuhan bosan dengan permainan yang itu-itu saja.


medan/18 feb 2010.
01.35 wib.
bambang saswanda harahap

Tidak ada sajak di atas meja

Ini waktu tua atau masih muda
Apakah cukup uban penanda di kepala
Bukankah ini tipu daya
Agar menyerah kepada malam yang raja

Dimana muda tersimpan wahai pisau cukur dan parfum
Kini cerita gundul dikenang mendesak
Tinggalah Kacamata dan kisah neraca yang mahfum
Punya jalan siasat, hingga pukul berapa musim tersedak

kendaraan tua mengapa tiba tergesa
Sementara jamuan masih menunggu tanggal
Cukupkah perhelatan hanya dengan secangkir kopi dan selembar kafan
Tidakkah menunggu sajak, disempurnakan sebagai kata sambutan

Medan, November/bambang saswanda harahap

Apakah kau perempuan yang aku maksud?

Tanya kepada bagian tubuhmu, semoga saja isi kepalamu mampu menjawab

aku masih baik-baik saja, sore nanti aku akan memancing di danau kepunyaan Tuhanku, jika kau ingin menyertaiku, datanglah pukul setengah tiga ke pemakaman di belakang musholla seberang jalan, tanyakan kepada kerumunan yang sedang berdoa, apakah namaku yang mereka sebut
: semoga kau ditempatkan di sisiNya

jangan kau salah sangka dulu, itulah cinta, acap kali membutakan matamu, ketahuilah aku tidak sedang bicara kematian, aku sedang menguji kekhawatiran, mulai besok kau basuh lagi segala apa yang ada di dirimu tentangku, lalu kau jemurlah di depan rumah, mungkin air deterjen terbaik yang kau beli di hypermarket terkenal di kotamu, akan mampu membersihkan ketidakmengertianmu tentangku, dan semoga juga matahari akan bisa membantu mengeringkan segala yang basah yang akan membuat tubuhmu sakit.

mungkin jarum jammu yang tidak mengerti, betapa waktu adalah kesungguhan, aku membenci keterlambatan tapi bukan menghamba kepada kecepatan, turuti semampumu, tak perlu kau beriba-iba dengan kemacetan dan keluangan yang selalu saja mempermainkan jalannya perasaan, tak akan luluh detak jantung karena airmata dan tak akan runtuh penyangga tubuh karena isak yang meledak, sebab kita bukan luka-luka yang tersusun dengan paksa.

ah sebentar, tadi malam telah kutitipkan mawar kepada ibumu, namun itu bukanlah ceritia keromantisan yang akan kita umbar di depan meja makan atau jalanan, aku ingin kau merawatnya dan menjadikan ia bagian dari tamanmu, sebelum kau berjanji tanpa bukti kepadaku, akan menjagaku sampai matiku atau matimu.

tanya kepada bagian tubuhmu, semoga isi kepalamu mampu menjawab, apakah kau perempuan yang kumaksud?

11.23.2009

untuk Jalan yang sedang dibaca

kita berangkat sebelum hutan-hutan dinyalakan matahari, kau berjalan berjingkat menahan gemetar dagu. aku tidak terlalu berharap engkau akan gembira dengan tempat yang akan kita tuju, sengaja aku tidak memberitahumu.

dan sekarang saatnya kita pulang sebelum hutan-hutan dipadamkan malam, kembali kulihat kau berjalan tertatih memanggul peluh, aku tidak terlalu berharap engkau akan akan gembira dengan tempat yang akan kita tuju, sengaja aku merahasiakan padamu.

mungkin esok di layar televisi,
mereka akan membaca kita sebagai sajak indah
tentang sepetak sawah di halaman rumah tidak berjendela

Titipan Jauh dari lelaki dalam perang

telah ia titipkan sebutir peluru dalam rahim
membaca resah tulisan kematian
mengomandoi arak-arakan di halaman
maut untuk lelaki yang sedang bersetubuh dengan bendera di negeri jauh

sepi-sepi belantara akan ramai dengan perang
luka-luka semesta akan sembuh dengan ledakan

dan pun telah ia titipkan seorang bayi dalam laras senapan
yang akan menembus dadanya
memberi kabar tentang perjalanan yang tidak akan pernah tuntas
disaksikan ribuan pelangi yang pecah berantakan

mungkin, sayup-sayup angin tak akan pernah terdengar
sebab benteng-benteng telah memperangkap laju suara
mengurung bunyi dalam saku yang tertutup rapat
apa daya sebab darah terlanjur berserakan

ceritakanlah tentang mimpi buruk yang selalu datang dalam setiap adegan
mengkabarkan betapa layaknya kehidupan dipertukarkan dengan kematian
mereka begitu tangguh memberi perintah
: sementara di bawah pasir-pasir telah tertimbun sepasukan nyawa ketakutan

dan akhirnya telah mereka balas titipan jauh
dengan airmata perempuan yang menjenguk nisan atas namanya


medan/bambang saswanda harahap

Bagaimana jika aku bercinta dengan angin

jika saja angin bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dicintai, mungkin tak seberapa keberadaanmu disini, tak akan tertangisi olehmu kami yang terbang meliukliuk melewati setiap likuliku waktu,
lalu pada jendela rumahmu kami akan mengendap, mengintip rupamu yang dizalimi keliaran perasaan yang salah kau muarakan. ternyata cemburu telah menutupi duniamu, engkau telah lupa, aku tak sekedar bercengkerama dengan rindu, tak sekedar membuat jantungmu berdetak, keberadaan ini serupa jalan terbentang, jika mundur pilihannya hanya kesusahan hati bagiku.

namun bagaimana jika angin terlanjur membawa pergi, nun di mana matamu tak mampu menangkapku, cobalah resapi segala kisah, apakah kan kau dapati aku seperti sedia kala?

merataplah.
biar aku semakin hilang dalam nyatamu.


medan/ bambang saswanda harahap

Sebungkus Bola Memantul

bola..bola..bola..MEMAN..tul/meman..TUL..BOLA..BOLA..BOLA
tul..Meman..tul..MEMAN..tul..BOLA..BOLA..BOLA/bola..bola..bola..TUL..meman..TUL..meman..TUL BOLA MEMANTUL/memantul bola/MEMANTUL..BOLA..MEMANTUL/bola..memantul..bola
BOLA..BOLA..MEMANTUL/memantul..bola..bola/memantul..mantul..BOLA.. bola..bola..MEMANTUL..
ah..bola..ah..memantul

***
ini dik, bola yang semula memantul setelah kubungkus menjadi diam, maafkan aku dik, yang tidak mampu memberikanmu sebungkus bola memantul. Mungkin lusa, bola memantul akan terbungkus. Tentunya untukmu dik.

dik ini bola memantul, tapi setelah memantul tak bisa dibungkus, maafkan aku dik, mungkin lusa, bungkus bola memantul akan kutiup seperti pintamu, hingga bola memantul-mantul dalam bungkus yang kutiup. Tentunya untukmu dik.

bungkus bola memantul sudah kutiup dik, namun aku lupa memasukkan bola memantul kedalam bungkus bola memantul, bola memantul masih memantul dik, tapi tidak dalam bungkus bola memantul, mungkin lusa dik, bola memantul akan kumasukkan lagi kedalam bungkus bola memantul. Untukmu tentunya dik.

bola memantul sudah kumasukkan kedalam bungkus bola memantul dik, tapi aku lupa meniup bungkus bola memantul, bungkus bola memantul masih bisa untuk kutiup dik, mungkin lusa, bungkus bola memantul akan kutiup menjadi bungkus bola memantul. Untukmu tentunya dik.

dik, ternyata hujan ini begitu tajam hingga bola memantul tidak lagi memantul dik, dan juga air dari mata begitu deras hingga bungkus bola memantul menjadi lembab dan tercabik, tunggulah dik, bola memantul dan bungkus bola memantul yang baru sudah kupesan, mungkin masih di perjalanan menuju rumah kita, lusa nanti pasti bola memantul dan bungkus bola memantul akan tiba. Untukmu dik, hanya untukmu.

dik, akhirnya perlu kau mengerti bila bola memantul hanyalah kisah, dan bungkus bola memantul adalah irama, yang kunyanyiceritakan padamu menunggu matamu terkatup, setelah itu kau bebas untuk bermimpi apa saja dik, seribu bola memantul dan bungkus bola memantul silahkan kau kunyah, ini hanya cara dik, sama seperti aku mengisahkan padamu tentang menu-menu makanan yang tak kunjung matang dalam ceritaku, hingga laparmu lena menjadi kantuk, begitulah dik, sementara hujan ini masih belum milik kita, jangan kau sedih dengan airmata yang ruah.



Medan, Bambang Saswanda Harahap

11.03.2009

dari kedalaman

Dari satu peristiwa ke peristiwa ia berlari dengan kaki pecah, sementara di kedua belah tangannya ia masih saja setia menggenggam keinginan untuk anak-anaknya, untuk tidak menangis ketika malam telah membunuh seluruh sepi. demi secangkir dan sesuap kesempatan.

*****

satu perjalanan, bumi atau bulan atau selaksa perih pedih, hewan-hewan, gugur bunga, setelah gerimis pecah, gunung-gunung, liang-liang lahat, purcama atau berarti, tenang atau galau, hingga tiba masanya menunggu satu kreta malam, menuju kota-kota, berziarah dalam kelam dalam sunyi, untuk menemukan sesuatu yang berada diluar dirinya, tentang senandung anak-anak pencari sampah, anak-anak penyanyi musim, anak-anak hujan dan badai, demi sejumput keinginan yang berserakan, lalu satu memisahkan diri, pulang kembali, letih terlelap, dalam air dari matanya, yang jatuh pada lelahnya jalanan yang tak henti saling membunuh.

Aku Sedang Melihat Bumi Memiliki Dua Bulan

aku sedang melanjutkan usia
dari mata-mata dan angin, menuju dadaku yang retak
masihkah lagi kau menegurku bunga
mengerling manja, mematahkan satu-satu jemariku yang ingin menampar mukamu

aku sedang menghindar dari camar yang berkejaran
sebab aku tak ingin patuk bibirmu mengunyah lagi rumpun mataku
yang selalu hilang tenggelam
jika ingin aku menggadai rupamu dalam angan-angan

aku sedang melihat bumi memiliki dua bulan
terpasung antara cahaya-cahaya yang menjerat
sementara di matamu lagi
mimpiku hilang

aku tak sedang lagi
mengulangmu disini
cuih..
: kuwariskan keinginan pada sekotak mimpi. yang tak berpeta dan berjejak.

Doa-doa yang Berkelana

Doa I

karenaNya
rebah darahku di sini
mengalir
hah.. pajang-pajang rupamu, di makamku, dimana kata mereka kubur bersama
aku ingin Tuhan. mengangkat tabir-tabir di ujung sana, tempat para malaikat, menanak mimpi bumi

karenaNya
tumpah imanku, laksana mengutuk-mengutuk bisu takdir, seperti mencuri, di sela-sela kampung ibadahku
huh.. tikam-tikam setan di dadaku, dada kita, retak entah, prilaku dari hutan-hutan yang memelihara jin
tempat para dosa dan pahala bersembunyi

..........................

Doa II

KarenaNya
aku ingin mati
dalam keadaan tak berkelahi denganMu
hah.. lapangkan kuburku, di mana aku akan ingat "siapa nama Tuhanku"
aku ingin Ia, meletakkan ku pada surgaNya, tempat para wali baik, menyaksikan janjiNya

karenaNya
percayaku tentang masa-masa, untuk mengarahkan kepalaku pada kiblatNya
huh.. bersihkan urat darahku, dari laknat dan murka, aku tak ingin neraka
tempat para dosa dianiaya

Doa III

Tuhan..
Jemput aku
dalam hingar bingar doa padaMu

Hening

bukankah keheningan tempat mencari
segala yang tidak kita temukan

(degup...degup...degup..degup
ha...ha..ha..ha)

persetan mengenal diri
persetan menjadi diri
kita telah asing
dengan degup jantung sendiri

(degup..degup..degup..degup.
ha..ha..ha..ha..ha)

suara maut berkejaran
mengintai setiap diri yang tak saling mengenali
aku, kau dan mereka, sama saja menunggu murka
lalu mari kita dengarkan tangis-tangis yang setiap saat akan pecah


lalu kemana kita membawa pertapaan ini
sementara terjun di atas sana sebentar lagi akan runtuh
menimpa tubuh kita
kasihanilah diri dan hati kita, jantung kita, dan juga engkau yang memandangku membaca puisi
mungkin juga akan rubuh tertimpa

lihat..!!
siapakah manusia itu, kita?
yang selalu berlari seperti anjingkah?
dengan lidah yang terjulur menerkam apa saja, membantai siapa saja, memakan hak siapa lalu mengencingi muka siapa?

(degup..degup..degup..degup
ha..ha..ha..ha..
kita telah menggonggong kesurupan hingga tak mendengar degup jantung yang kecemasan)

dengarkan, dengarkanlah
masih berbicarakah manusia itu

(degup..degup..degup.. degup
ha..ha..ha..ha.. )

dadaku ngilu mencibir bibirku yang membatu
bisu ternyata kita dengan degup dada orang lain disekeliling kita
degup yang lapar, degup yang takut, degup yang berhenti
tak saling lagi menjenguk berucap salam berkasih-kasih

mari kita pulang
menata perjalanan kembali
bukan hanya esok yang selalu kita pancang dengan khawatir
tapi tugu sejarah yang tertinggalkan, rindu untuk diziarahi

8.28.2009

Pituah lelaki rambut wangi pada malam puisi

sejak sajakmu terjejak dalam barisan serdadu perang desember
kita berhujan-hujan kata, menuruti kayuh sepeda ontel lelaki tua berambut wangi
yang sekali tempiasnya kita terjemahkan bersama
diatas teras rumah orang seberang yang asing

menghambalah kita pada kertas-kertas yang telah dilumuri ludah kopi kita
asap-asap rokok yang genit mengepul pun tak tinggal diam
menerka senyum pelepah kelapa, mencerna seringai hampar pantai tengah malam
yang pasirnya putih, seputih warna malam yang sedang kita gubah menjadi hitam

aku sedang menuju langit-langit kataku tanpa ingin mengangkat setapakpun pijak kakiku, katamu dengan desah nafas yang tertukar dengan angin terkirim lautan,
sesekali kalian selipkanlah puisi diantara penat yang hanya akan mengukur umur
: hingar bingar dunia ini kawanku, tak lebih dari protes anjing yang bersuara parau, mengonggong untuk perutnya yang tak terisi, setelah para penguasa mengajari kita lupa menanak nasi dengan permainan harga

aku sedang menuju bumi jiwaku tanpa ingin kepalaku tersuruk busuk didalam tanah yang ada darah penganiayaan akan nasib dan takdir
sesekali kau taburilah dengan puisi, agar perang ini sedikit bernyanyi
: tak seperti cemooh dan tingkah mereka yang berpura-pura, kepada segerombolan orang yang tak mengerti apa itu hukum dan hukuman, mereka hanya bercanda, diantara permaianan azal dan kematian

batukmu semakin parah
sembari merapikan pecimu yang hitamnya mulai berubah
ah sudahlah katamu terhentak
: rapikan buku kalian, penuhi bumi ini dengan puisi, sebagai penyeimbang kebohongan. bukankah kita ingin mati dalam keadaan tidak mengeluh?

ditiga masa yang menandakan kita masih dalam perjalanan adikku..!!

di secarik kertas di bawah bantal ibuku
aku melihat tulisan tangan ayahku
: tak ada kebagaian yang lebih bahagia selain melihat kebahagiaan kalian, kalian yang memiliki kehidupanku

di bola mata ibu
aku mengapung
: oleh genang air yang terbendung.

di nisan makam ayahku
ada nyala yang membakar
: tidak sekedar rindu

untuk adik-adikku
: jangan ceritakan pada siapapun tentang dinding rumah kita yang lapuk, sebelum aku mati..!!

Pamit

aku tak melihat lagi gelora mata yang membakar di tubuhku
hingga sepatahpun tiada tersisa

tentang pusara
tentang kamboja
tentang puisi
terkubur satu

kabar telah sampai
mungkin aku pamit mencumbumu
kata-kata yang setangah musim menduri dan membangunkanku

selamat tinggal

kutitip puisiku, pada angin, pada cahaya, pada malam, pada kehidupan yang masih menghidupinya tanpa penjaga. jikapun lapuk, biarkan ilalang dan rerumputan yang mamakamkan..!!

7.10.2009

Melika

aku utara hanyut dengan segenap bintang yang kupunya
sementara kau barat cahaya tempat kisah tertinggal benam


dulu padamu aku pernah menetaskan anak-anak rahimku yang seluruhnya rindu
berharap setaman kita menganyam rasa, bercinta menjanjikan bunga dan kupukupu tetap bercumbu

setelah sepenggal demi sepenggal masa itu kuturuti sepi
tanpa janji meninggalkan aku sendiri di kota ini dengan rimbun gundah yang tak mampu kusiangi sendiri
tiba-tiba saja kau hadir dalam sebentuk senar tak berirama, hanya senar, menancap di pangkal leherku, menembus ke jantung, lalu melilit dihati dan meluruskan ususku seperti jalan pergimu yang tak mampu kuhadang

seketika...

seketika kau penggal lamunku, irisannya kau tuang dalam secawan bola mata yang terbelah, yang kau jadikan tetabuhan melebihi kecepatan rasa sayang itu sendiri, menjadi dentum malapetaka, melebihi malapetakanya cinta yang sedang terbaring koma.

dan pada...

pada enyah mentari, pada ungsi gugus cahaya, pada kelam, pada segala hitam, akan kudukakan perlakuanmu yang demikian melambungkanku sekejap, seakan-akan kau sedang berdiri dengan jubah putih memagang tongkat yang ujungnya berbintang, lalu kau susun sedihmu, kau hujani aku dengan airmatamu hingga aku mengigil perih

melika
sudahlah bawa bahagiamu lalu sisihkan sedihku
sejak lingkar cincin cintamu terikat, usah kau gaduh aku dengan puisimu
keatas ranjang pengantinmu esok, katakan aku tak mengapa dan tak siapa

takkan ada putar ulang masa
sebab segalanya mulai teduh tanpamu

Hari haru

Perlahan kami sama-sama mengkerat luka yang tertimpa di ibu jari
induk dari kepedihan,menyerat pedih menjadi masing-masing pusara
tingkah perlakuan apa yang berdiam dalam mimpi-mimpi malam ini
terpeluk sekali pagi, entah mana derak yang patah, lalu derai pula airmata

ngilu padamu ini tak pernah kami sampaikan oh nan padam terkenang
yang kami tahu titik-titik pada bilah pedang matahari ini
adalah mata yang beradu dengan mata kami
silau mana yang akan mengedip, lalu nyawa mana kan berpulang

tak terjawab semestinya hari ini hari apa
tak terkira semestinya berapa kematian sudah yang kami tangisi
yang ada esok, lusa dan kapanpun derita itu singgah
perlakukan dengan santun, laksana kita adalah ibu dari mahabijaksananya matahati

sekali waktu dimana nanti peran berganti
akan kami titip luka, pedih dan airmata ini pada Tuhan
akan kami ceritakan kepada anak cucu kami bahwa kehidupan ini begitu menyenangkan
turunlah.. jejakkan kakimu pada bekas jejak kaki kami yang darahnya mengering sepi

Tadarus kesunyian

Tadarus kesunyian khusuk pada musim-musim yang tak henti berputar
bayang-banyang pun entah, berlari dari satu padang kepadang lainnya
membaca apa saja yang lekat dalam sadar
mengilhami alam lain yang ada di luar tubuh manusia

satu kalimah itu begitu sahaja
membangunkan detak jantung yang bernyanyi bisu
sujud semesta pada satu yang ada dan tiada
sunnah dan fardhu seirama berlaku satu

ya Tuhanku
tadarus kesunyianmu ini begitu perkasa mempersatukan langit-langitmu besarta megacahaya
hitam dimataku terang bagiMu
alam yang bergandengan, akur menuju satu sajadah sujud yang searah

dengung dan ngiang meremuk redamkan tulang
dari tak bersuara lalu menggema hadir dalam barisan ibadah
dentum mendentum seluruh jagad raya yang terbentang
dalam sunyi, dzikir sahut bersambut padaMu berserah

Kutunggu kau di kilometer debar

kutunggu kau di jalan bersimpang
seribu kilometer debar
membahas lekuk rindu
yang semakin memar

adakah kau rasakan angin itu menguntit
segala tapak dan bau kita
mengitari curiga
kemana rasa kan dibawa

kemas senyummu
susun rapi seperti semula
mari kita tipu semesta
dengan lari sejadi-jadinya

6.18.2009

Pada satu masa, aku bersama usia

Tak kusangka sangkakala itu ditiup dijantung senja purnama
ada rintih dari asbak-asbak masaku yang tidak lagi bundar tidak lagi satu
pat kulipat timbun ubanku yang rekah berpecah belah
berkamuflase menjadi sebatang rapuh

..................

anak-anak itu berlari bersama derik jangkrik
memecah lumpur yang menggumpal dalam celah mata paku
ini magrib kata, ini magrib masa dan ini magribku
sementara aku mengeruh, dalam renung tercekik

mana bagian tubuh ini yang tak berTuhan
biar kutanggalkan kuberikan kepada anjing

Dalam kolam mata lelaki itu bulan menggenang

petikkan ibu jarimu
beritahu aku bulan yang kau genggam

teruntuk perempuan tak bernama
yang menyimpankan malam
turunlah...lalu caci maki kerinduan ini
hinggapi sesak dada yang sepi
: tancapkan sebilah lihat, dalam kolam mata lelaki yang darahnya itu mulai memutih

Tentang madu, kumbang dan bunga yang hanyut

1
Dalam dendam luka bibir bunga, ditingkah gemulai kepak sayapsayap yang teralun rindu, aku kelu, merafal mantra birahi yang singkap. Oh yang setaman, didihkan wangimu, sampai kita saling memuji digemetar waktu berikutnya, hingga aku khidmat mengeja bahwa yang ditunduk jemari daun itu adalah bungaku yang hijrah dimusim semi, lamunku sungguh..

2
Dan pun kini kau tiba, lekas beringsut dari deru-deru kota pagi ini, beserta geletar kelopak sayapmu, menindih aku berpeluh resah, mengajak maduku menari mendebur awan, lalu kau kan ku hujani kau dengan derasnya laksana batubatu yang terlumuti. atau lebih baik Kutunggu saja kau dipintu taman, mengarak barisan gairahmu. Tapi.... akh, sebabmusabab tiba-tiba kubenci.semula kutenang, lalu maduku asin, hanyut kelaut, kusut, lebih baik senggamahi aku di pantai mana kan terdampar.

3
Ini tipu detik yang menelikung tepitepi kelopakku, mengandung ribuan lelucon tentang asmara dan pertemuan, dalam kelaskelas angin di bibir semenanjung ini, kau dendangkan saja lonceng seribu tangisan pada hanyutku, niscaya akan lumpuh debur laut ini, menepikan ku segera. Tentang madu ini, sungguh, masih terjaga atas muslihat benci yang berdentum dalam bibir ajalku. Lebih untukmu, kusisakan manisan ratu, setelah ini kau setebuhi, jangan kau bermimpi menziarahi kuburku sepatahpun.
: ingat, gugurku saja tak bertabur kemboja.

aku dengar ditelaga itu suara perang, disaksikan tugu pahlawan yang dadanya berdarah

pecah mendesing
pelurupeluru timah dari bibir telaga
berlabuh di dada
lalu kaku jadi batu jadi tugu

ringih perdu musim hujan
menumpang lalu angin ke daratan
simak spasi aur yang saling bergesak
menyiratkan siulsiul sejuta nyanyian kematian

diantara semak ilalang hadir bunga-bunga
berbau darah dan mesiu
tercium sungguh, ditingkah berisiknya suara dentuman dan senapan
aku beranjak, meninggalkan telaga tragedi sambil menahan bulu kuduk yang semakin nakal

Doa kolam ikan

berpeluh resah diriku wahai ikan buruk dalam kolam tak terurus
tak ada bagian rezeki yang kudapatkan pagi ini
jangan harap akan ada gengam telapak tangan terbuka untukmu
menyelamlah, kais kebawah sana apakah bagian rezekiku yang tenggelam disana

lihat..!
ha..ha.. matanya melawan marah
melemparkan lumut, kotoran dan seluruh airnya yang tak bisa lagi tempat untukku bercermin
sekedar melihat apakah di wajahku ini masih ada lelah setelah semalaman berperang hujan

ikan buruk dalam kolam tergenang kumuh
jangan tatap aku, arahkan bola matamu pada pencipta
pintalah padaNya dengan ibadah dan ibamu
semoga saja doamu lebih laju, mendahului doaku yang sudah kehabisan akal

6.04.2009

Kusut Api

kita pernah rebah di sini
memperhatikan anakanak sungai
yang di dalamnya kita temukan kusut api
tentang peran lakon dan puisi

mengapa sedih itu menjadi air?
katamu menikam lekat mataku
sungguhkah kita dari tanah yang terpijak ini
lalu berlari bermain bersengketa berupa-rupa diatasnya

.........

kita tidak sepenuhnya tanah juga air
yang kuterima dari ibu semusim lalu
kita menari kawan
merunut kisah kusut api yang tenggelam dalam arus sungai

jika masanya tiba purnama terbelah
kutunggu kau disini bisikku di dinding telingamu
jangan kecoh lagi aku
dengan pertanyanmu tentang duka lara
: airmata biarlah airmata, huh.




Untuk Temanku: Mh Poetra
selamat jalan sob, hati-hati, jaga dirimu baik2..
semoga sukses,
nanti kita tambang lagi "kusut api"

Usai

Tahukah engkau wahai kekasih
aku tak mampu lagi menerka laju angin di matamu
aku tak mampu lagi menghitung lengang di hatimu
semburat senyum kusut, selalu menjerat temali jantungku hingga tak berdebar lagi saat menciummu

Kau giling aku wahai kekasih
sampai aku pecah dan terasing
kau mungkin tahu, jazirah mana lagi yang tak kusinggah
dan ini, sungguh menelantarkanku menjadi asing dan mengasing

Sekali pagi bersama deru angin
kau jenguk aku dalam keresahan
dengan mendung aku kau tegur
lalu kau cubit kau pukul kau tindih kau pijak kau matikan kau tamatkan kau bisikkan
: mungkin Tuhan kita berbeda, sehingga cinta kita tidak pernah sama sayang

Jibaku

bahasa ringkih searah duga
telan pahit lalu berjibaku, mambaca desisdesis dari dua katup belah bibir
auman ditutup putus menderu jua menapak jua menggadai jua
didih sak wasangka dalam api jerang darah debu marah kayu suak tabir
: gumul beradu maju, benar beradu padu, Tuhan Beradu Satu, kita lumut jadi batu

Asap tungku emak

enting gugus mayapada, cakra senja barat kuala, nyiur nan nyiyir, andalas reka pituah pepatah,aih... periuk duduk ditungku jauh, perih mata disini memerah, asap nasi menukik pula. Berupa-berupa menutur selera.

Mukaddimah

(Dengan Menyebut Nama Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyanyang)
semoga jangan
sajaksajak yang lahir dibumiNya ini
menjadi berhala baru dalam jalan lain penyembahan

penyair bukan jibril
yang Turun dengan jubah cahaya
lalu singgah ditengah manusia
membersihkan hati dengan zamzam hingga kudus,


Tuhan kami
sajak kami biasa
tak firman dan tak wahyu
tak ditulis dalam surga
tak bararti apaapa dihadapMu yang maha Indah
: ampunkan kami yang sempat terbawa

"Puting Susu"

Aku tak berada di puting susumu
tidak usah takut kau mencumbu
mari nestapa ini akan kita susun bersama
menjadi sayapsayap kedamaian menuju bulan
dan...
: PUncak marah atas TINGkahmu yang menyuSUn Kecewa, kini SUdahlah kutinggalkan lupa

5.16.2009

JUDUL

meskipun datang badai menggulung malam
tentu bukan aku atau kau yang menjadi pagi
debur mendentum dada kelam
sunyi menggelar sengketa hati

dan kita asing, terpaku meratap akan tanya
sampaikah jiwa pada puncak peretas mimpi?
dimana sumpah dan peluh tlah terkuras dalam
malam membungkus kita kawan,
di batas sadar dan resah,
segala berlalu!

dalam sepucuk sajak cinta berbungkus debu
kau selipkan ragu yang membaru,
tanyamu,
dalam keakuan yang tak putus menjunjung sedih.
kukatakan saja dari sini aku akan lebih hidup
cukup hanya dengan mengenangmu,
; sebagai nyala yang tak padam

dingin semakin merasuk, gigil membuncah sunyi
malam beku! Selimut sajak mempertebal rasa,
kita masih terjaga





* Apresiasi untuk kawan
MH Poetra
Mari kita yakini.. kita adalah perang dalam perang.. dan kekuatan itu adalah diri kita sendiri

5.05.2009

Kami adalah Bagian Zaman yang belum berhenti mengerang

patut memantaskan kepingan-kepingan bulan itu menjadi ritme yang kandas, terlunta merangkak ditingkah injak pinjak beragam rupa, sama berjejer dilumat kumis dan ketiak dahaga, menahan bau dan geli, hingga kematian berikutnya semakin terbiasakan

punah melamunkan benak yang bersidekap diam
habis masa tertinggal dalam ketinggian yang menjadi puncak orgasme yang terlupakan. ku pun tahu, yang kita pikirkan adalah zaman yang kita diami adalah kesunyian tanpa batas, yang berlalu berlalulah,

setitik yang kau pajang menjadikan pancuran penghabis ruh dibadan
sementara kami yang apung kian tenggelam, sekalipun tidak digenangi berjenis apapun selain mantra-manrta yang dibacakan berbisik.

biar gelora dan amuk kami tuai atas perselingkuhanmu
sebab kami adalah zaman dari kesunyian yang kau onanikan
tubuh yang gemetar adalah pertanda setia atas murkamu
yang sampai saat ini belum berhenti mengerang

4.30.2009

Bukan Jejak Telapak Kakimu

aku bukan seperti butiran pasir
pada setapak jejak kakimu
tapi aku lebih pada
bentang seluas jilatan ombak yang belum sempat kau pijak

aku bukan lembaran yang sudah kau sajakkan
hingga aku menjadi kesimpulan yang ada pada genggamanmu
tapi aku adalah buah senggama perenunganku
dari segala yang mengendalikan aku, bukan kamu

aku akan berlalu kemana saja inginku
tak usah kau membuka pintu rumahmu untukku
dimana aku terkapar disitu aku mati
dalam caraku yang selamanya tak pernah memenuhi caramu

4.27.2009

Semedi Kata

ini yang terakhir kugeruskan pada luka matahatimu, biarlah yang terucap akan memberi genang basahmata, maaf jika dalam perhelatan tertinggi ini aku tak turut, menyedu secangkir coklat panas yang telah kau pesan sejak matahari itu belum memerah. Nak.. kau ciumi bau yang ada disetumpuk kuburku.. niscaya kau akan mengerti, takdir itu tertulis jauh sebelum kau mengenal kesedihanmu sendiri.

4.23.2009

Tuhan... Beri Aku Jeda Untuk Berperang

sementara tetabuhan kian gumuruh, keapaadaan senantiasa bisu, terseok disandung oh disandung, yang tak terlawan menghujam bumi mencaci maki.

pelita redup kianlah redup disambar angin nan salah jalan
demikianlah kisah hingga yang terpendam makin membenam
kuputus-putus cercah cahaya dengan telapak jari
maksud hati yang menghitam, menuntut balas atas doa yang tiada tersempatkan

Tuhan Oh Tuhan yang bukan perempuan
apa daya mengirim pinta yang haruslah sampai dilangitMu segera
hamba manusia seperti manusia
bagai pasang menggenang, pun jua bagai surut nan menyurut

duhai takdir duhai nasib mari berperang
amuk yang amuk sungguh makin tiada tertahan
sebelum tega tikam-menikam
tunggu sejenak aku ingin beristihqfar

4.20.2009

Tak kuberi Judul

bukan dari setiap bola matamu selalu aku menyulut rindu
tapi aku mulai lalai menidurkanmu
hinga sepagi ini kau masih setia mengetuk biduk kayuku yang dipeluk lumut
berlomba dengan dengus nafasku menghantar ransum cintamu

umpan sudah kutabur,kail sudah menyelam
biarkan kita saling menunggu
hingga bau dan rupamu menjilat-jilat kayuh perahu yang menuju
tunggu aku yang ingin merajai seluruh bahagiamu, di tempat biasa kita bersetubuh tatapan

pun segulung jala dan ombak yang kukawinkan
bermain dilautan, bercinta menghadap awan, berharap di langit bersiteguh dalam karang yang kesemuanya demi mu yang sedang menjalin seprai tempat tidur untuk kita nanti malam

dinda, nanti setelah sampai, kau dekap aku seerat-eratnya dekapanmu
dalam bau tubuh ini akan ada pengertian yang akan meluluhkanmu untuk segera berserah rasa

4.18.2009

Ketika Aku Berkisah Kita

Sayang
aku bukan duniamu
bukan juga harimu
aku hanya bagian dari apa yang kau rasakan
jangan kau jadikan aku yang belum tentu setia ini
menjadi apa dari adamu sepenuhnya
sebab jodoh belum dibocorkan Tuhan

Nikah Embun Pagi

kaldera berkabut
yang kutatap sedemikian telanjang
berlari kecil gerigi kerikil
menimpa ubun-ubun pagi
senyap hening kubahasakan cinta diam-diam
"huh..aku terima nikahnya embun dan pagi
dengan mahar segenap yang tak kua miliki, .. TUNAI"

4.16.2009

Tafsir Cinta Tak Terterka

mulai sepetak hati nan ranum ku hitung jendelanya
menerka cinta yang dikandung
menebak rindu yang terpasung
sampai menggigit bibir pun
tak mampu kujumlahkan

cinta pergilah berlari dibawah hujan
basahkan seluruhnya
mungkin
hanya dengan ini aku mengerti
cinta disiram hujan menjadi basah

Anjungan Perahu Bercadik

kutulis dikau pada bau dan rembulan
menjadi malam dan pelepah terlama
menghadang langit turunkan segera

duhai gelisah nian menyengat
terpecah jua kan kiranya
memancang sauh menjulur mata

tentang tanah di lenguh camar
bersajak anjungan perahu bercadik
pulang senja menjemput bekal

dirimukah yang sedang menyemai
menabur tumbuh menanam tuai
berkisah riak di bawah awan
membaca mantera menahan dahaga

Ditepian Ruh yang Hilang

Akan kepadaMu lah Kami kembali
kami dan segenap yang ada pada adalah kesementaraan yang tiada terbantah
mengayuh dan menjaring kecintaanMU dalam sela-sela keterjalan gemuruh iblis mahasesat
melayari semilir, pun jua badai yang menjadi keniscayaan bentang kehidupan

dan akan kepadaMu lah kami kembali
hingga yang tertinggal adalah kesempatan
dari kisah-kisah persaksian
sebab ini akan di hitung oleh timbangan mahakeadilan

dan turutlah padaMu
yang di panggil dini hari
Ia adalah milikMu sepenuhnya
sementara kami berjalan menuju terdahulu yang telah sampai

ditepi Ruh yang hilang
adalah kebenaranMu yang datang
sungguh..
kerelaan adalah kepantasan menjumpai hikmahMu Tuhan

Ia yang Telah Menjadi "Jalan"

ini kisah nestapa pada tanah-tanah lapuk yang menjemput nyawa dalam raga terbawa gelap yang demikian basah
tanggul tua merebah di dini hari membawa aroma murka
membentang ia yang nyata menjadi tragedi dengan ruah setinggi teriakan menyembunyi azal
tiada bisa... peran-peran itu hilang sekejap menjadi diri-diri yang tiada

apapun dia dari kejauhan sudah terlihat menjadi masa yang tertinggal diam
sajak-sajak terbit kehabisan bahasa sebab kata yang selalu berduka
doa dan lantunan ampunan pertaubatan menjadi pengisi penutup kisah
sungguh demikianlah yang tergerak dari mulut ahli musibah

perenungan itu tampak jelas
dimana Tuhan membagikan teguran dalam air yang semula tenang
situ gintung
telah menjadi "jalan"


(dimuat di Tabloid Mahasiswa Suara USU edisi 69/XIV/April 2009)

4.14.2009

hmmm

......
......
......
(yang teramat ku sederhanakan)

cinta masih disini
......
......
titik

3.30.2009

Jalan Lain

ini kalanya terpinggir musim
kuyup bersama angsa pulang ke tepian
ikut terbawa permainan hujan
yang rintik di daun mata bersilauan

deras ia menindih mati kaki
lalu menghayut fikir yang terbentur jalan
oh.. aku yang merenangi nasib
kehilangan cara untuk bertahan

sementara aku berlabuh di lumpur
teruskanlah doa memapah harap
mungkin aku memilih jalan
dalam daratan yang tersisa

Teman Kata

aku yang masih mengawali langkah
memfilsafatkanmu, mensejarahkanmu, membahasakanmu
lalu menghidupkanmu dalam kata-kata
hingga kau bisa bercerita banyak tentang hidup

kau teman kata yang hilang setengah musim
setelah dingin sendiri di gigit malam
hampir kering di tunduk terang
aku percaya dahagamu kan kosong sekalipun ku tinggalkan kau di padang kerontang

dengan nyiur yang selalu melambaikan pesan ku dalam separuh waktu
menyempatkan padamu sapa bersalam rindu
lalu menjejakkan kisah yang jua kan ku lamunkan padamu
dipertemuan februari hujan
mari kawan kita membaca sajak dengan khidmat

Tiada Kau Yang Kan Ada

aku selalu belajar menggilaimu
sampai terkatung aku entah...
memfirasatkan mu selalu dalam bentuk kemauan keindahan milikku
hingga senja buta itu menegur, aku adalah ketidakmungkinan untuk mu

kembalilah kau surut ke pantai
tunggulah ombak menjilat angan
angin adalah pembawa
dari segala kekosongan rasa

semakin aku menyadarkan itu
aku semakin dihempas entah
di kota mana ia tidak ku temui
disanalah aku terdampar selalu

ini aku mengurung kisah
melingkar cerita
menimbun keinginan
mematikan langkah yang akan sia-sia
sebab hati itu tiadalah paksa
katamu di sebuah pesan singkat dini hari.

3.28.2009

Gemuruh Subuh

Malam bergerigi tajam
mati kerandakan sesejuknya pejam
bola bening lihat tertaut diludah deru pagi menjilat terang benderang
aku yang hidup, lalai manja kumandang subuhMu Tuhan

3.24.2009

Doa Gerimis

ini yang berjatuhan dari langit
membawa kepada sepetak ruang tempat bertarung nestapa

oh pada temaram ku dukakan gelisah
gerimis beringas menggulungku pada ibu yang ku harap tidak terluka

aku mencarimu di kepingan manasaja tempatku berkisah
menyandarkan segenap, seluruh. segala, sedemikian rupa keperihan

ini malam selasa basah
Tuhan menegurku sekiranya

ini malam memberi sebab
untuk pagi ku yang akan resah

ini malam aku bermunajat kepadaYang Rahram ya Rahim yang Esa
sujud ku dalam padam keingatan yang hanya nyala padaMU

Aku bermohon untuk telapak kaki yang berisi surgaku
andai cobaan itu kau hadiahkan sebagai bentuk kasihMu
jangan akhiri keputusanMu
sempatkan aku untuk bersama memberinya bahagia

Pagelaran

ini pagelaran setan apa manusia yang sedang bermain drama
berubah wudud
bertukar rupa
seperti manusia mencontreng manusia menjadi Tuhan

3.23.2009

Sang Sesat

menghadap botol
aku sujud
memuja perkampungan jin
betapa bahagia nya kekafiran ini Tuhan

3.22.2009

Kalimat Kusut

sampai dimana arakan awan mu Tuhan
Aku menantang
mencariMu di langit yang tak pernah menjatuhkanku uang seperti hujan

"nikmat mana lagi yang kau dustakan"

kalimat kusutku
mundur menyurut
betapa meruginya aku jika di paraghrap ini Kau cabut nyawaku Tuhan
sebelum aku sempat menulis kesadaranku

ampunkan aku Tuhan
memanusiakanMu dalam kekalutanku



12.26.2008

Wanita Bermata Biru

pun jika nanti kau tiba dalam temaram
aku masih mengenang baumu yang kususun rapat
menjadi setumpuk taman
kan kau dengar decak kumbang yang sujud pada setangkai mawar memberi isyarat
untuk mata birumu yang berkedip malu

12.16.2008

Masa Kamboja baru kutabur

layaknya inilah yang kau sebut pertempuran hati
dimana aku harus keluar masuk rahim lara
oh kau yang sedang menunggu waktu
sebegini nyatakah cerita ini menjadi kisah yang teruntai

jangan kau lupa katamu di dalam sesak-sesak nafasmu
terakhir ini aku membulir air mata untukmu
kutinggalkan kau sebab senjaku tiba
hitung butir pasir itu, lalu gumul ia menjadi jejak.setelah itu kau taburi kamboja dikuburku

yah begitulah
dimana yang tertinggal adalah aku
mengusung bayangmu selalu
hingga beribu musim berlalu

12.15.2008

Orang-Orang Lapar

carut marut
pagi buta dibentak nasib
siang diperdaya nasib
malam dirajam nasib
lalim benarkah kau yang menganiaya ku yang belum makan

*Revisi*

12.14.2008

Sajak Terluka

legam nian
sengketa
sajak terluka
dimuntah dusta penyair
berlinang-linang
memohon ampunan

12.09.2008

Hingga Setan pun Terharu?

setan mengeja puisi
dari menunduk
hingga tersedu
"apa yang ditulis penyair hingga setan pun terharu?"

12.07.2008

DirumahMu air mataku derai

aku yang terpaut jauh dari jalan menuju janjiMu
berlama-lama di gaduh penggoda dari bara api nerakaMu
semakin tenggelam ku sujudkan diri dalam rumahMu
Mekah yang berselubung takbir membuncah air mata

Mimpi

purnama di ujung mata memecah buih di angin
melabuhkan segenggam asa dalam bukit-bukit menjulang ke awan
menyunting wanita-wanita yang tak pernah di caci terik
hingga membayang udara dalam tarikan nafas adalah surga

teruslah menjejak pasir-pasir dalam angkasa lamunan
membumbung memuncak menanggalkan beban di pundak
mengayuh setingi-tingginya kesenangan
meramu mimpi di kutub bumi dini hari

Duhai Nestapa

Duhai nestapa
perihnya sudahlah senja
bak peniti luka mencucuk usia
renta ia dirundung air mata

duhai nestapa
tanggalkan ia yang diujung sana
gemetar tegak lapuk dicerca genangan siksa
merenda duka merajut derita

duhai nestapa
tiada usai jua padam kobaran dera
dari satu darah kedarah matanya
menukiklah tajam sembilu dipangkal lehernya

Sumbang

terkutuklah
cinta yang berderak-derak di pangkalan telinga
mengingang laju kumuh
bersenggama hina kau bertanya pada sengsara

sepasang sekoci berlumur lumut
membatu bersama karang
daripada kau terjungkal ke lautan
mari kita eja perhelatan dengan semestinya

terkutuklah
cinta ditambah cinta menjadi sampah
terciumi sengatan membesarkan arwah di dalam kubur
sungguh..kuncilah hati sebelum kau terbawa digiling kunyah

peradaban kau gilir dengan martabat sumbang
kau gulai mentah dalam belanga kubangan air mata
mendidih jantung kesumat menatap mata tersumpal bara
jangan cinta kau ucap perlahan pada yang lapar di pesisir hujan

pejabat desa bersukutu dengan setan dengan tengkulak
merajai iblis dalam sumpah serapah memutar masa
duh..sampai setega ini cinta mereka simpan pinjamkan
terkadang gadai sudah dalam meja perjamuan bersama pimpinan setan

Badai anak nelayan

pecahan kaca dalam air mata
menitikan racun dalam gamang
menyibakan luka-luka seperti terbawa ombak
kepedihan yang teramat menganiaya sudah singgah dalam senja

ada dua bocah setengah berbaju
berbaris di jilat badai
menelentang menantang hujan
sementara di balik punggung-punggung mata kail menancap pongah

anak nelayan dalam persaksian
menghitung setiap derak nyiur yang mengerlap merantai kunang-kunang
melambung setinggi bintang-bintang kejora
menyapu langit dengan ijuk luka dan lidi nestapa

12.03.2008

Maaf…Kau Terlambat Datang Jandaku

Mungkin kau angin yang datang dengan mata berkaca-kaca
Tiada mungkin bisa ku sambut kau berlutut
sembari memakai senyum lama
menyuguhkan senja penyambutan dengan pertunjukan maha bahagia
sadarkah apa yang kau lakukan akan menjadi luka yang berulang
sebab lembaran cerita yang kususun sampai sedih lembab sudah berkecamuk tempias

terlalu larut aku menantimu dibalik tirai yang tak pernah kau singkap
sampai aku hampa menghamba pada kesunyian
menjatuhkan tetes belulang yang lebur
menganaktirikan kebahagian yang seharusnya kubesarkan
sementara kembali itu kutunggu dengan berkecamuk ragu
hingga terompet penanda babak kita telah usai menggema lantang
kau berakhir,tanpa ada harapan sebab telah kumulai episode baru dengan peran sama
ijab kabul telah yakin kuucap kembali dengan penyerahan menyeluruh

Untuk Istri Baruku, Sarina

Berdoalah kau Sarina
Agar aku bisa luput dari bayang-bayang lama
Cemburu saja sebab dengan itu aku merasa dicintai
Tak perlu kau beradu kata, asam garam cinta dan tipu daya sudah begitu akrab denganku

Sarina istri baruku yang ku nikahi tadi pagi
Aku pemain lama yang sudah mulai lupa dengan lapangan yang akan kumainkan
sejak gawang dibawa pergi bersama mantan istriku 6 tahun lalu
dan selama itu aku tidak turun lapangan

Sarina maafkan aku
Diam-diam aku memetik mawar yang pernah ditanam mantan istriku dibelakang rumah
Itulah yang kusematkan ditelingamu senja ini
Mungkin inilah serah terima cinta menurutku

Mari kita mulai babak ini
Semoga malam ini rahimmu meramu janin laki-laki
Aku berharap akan ada yang menemanimu setelah aku mati
Menjaga saat godaan suami baru mengganggumu

Segelas jamu kuat kutelan habis
Lampu mati
Aku memulai kewajiban
Setelah itu tak mampu kuceritakan
Saat terbangun sekujur tubuhku keletihan

Pledoi Puisi keduapuluh

majemuk sudah perasaan
tanpa kompromi mengaduk-aduk hati
membuat cita rasa
yang akhirnya asin, seperti air mata

berbeda jauh
antara tadi malam dan siang ini
tetapi tetap hadir menghakimi
aku yang menjadi tersangka dalam pengadilan hidup

puisi kedua puluh yang aku tulis siang ini
menjadi pledoi yang kubaca diam-diam
maafkan
aku menyesal..

Tanpa Judul hanya kerinduan

aku yatim
di lahirkan sama dengan kelahiran ayahku
tentu berbeda tahun
ah untuk apa ini ku sebutkan

aku dahaga
dalam kerinduan
belaian ayahku
mungkin itu yang ingin kusampaikan

Perjanjian Siang Ini

Berdendang sendiri aku siang ini
Menutup diri
Mengurung hati
Mengunci akal
Dalam perenungan panjang melelahkan
Sebuah kesimpulan
“berjanjilah… untuk tidak bolos kuliah lagi”