11.23.2009

untuk Jalan yang sedang dibaca

kita berangkat sebelum hutan-hutan dinyalakan matahari, kau berjalan berjingkat menahan gemetar dagu. aku tidak terlalu berharap engkau akan gembira dengan tempat yang akan kita tuju, sengaja aku tidak memberitahumu.

dan sekarang saatnya kita pulang sebelum hutan-hutan dipadamkan malam, kembali kulihat kau berjalan tertatih memanggul peluh, aku tidak terlalu berharap engkau akan akan gembira dengan tempat yang akan kita tuju, sengaja aku merahasiakan padamu.

mungkin esok di layar televisi,
mereka akan membaca kita sebagai sajak indah
tentang sepetak sawah di halaman rumah tidak berjendela

Titipan Jauh dari lelaki dalam perang

telah ia titipkan sebutir peluru dalam rahim
membaca resah tulisan kematian
mengomandoi arak-arakan di halaman
maut untuk lelaki yang sedang bersetubuh dengan bendera di negeri jauh

sepi-sepi belantara akan ramai dengan perang
luka-luka semesta akan sembuh dengan ledakan

dan pun telah ia titipkan seorang bayi dalam laras senapan
yang akan menembus dadanya
memberi kabar tentang perjalanan yang tidak akan pernah tuntas
disaksikan ribuan pelangi yang pecah berantakan

mungkin, sayup-sayup angin tak akan pernah terdengar
sebab benteng-benteng telah memperangkap laju suara
mengurung bunyi dalam saku yang tertutup rapat
apa daya sebab darah terlanjur berserakan

ceritakanlah tentang mimpi buruk yang selalu datang dalam setiap adegan
mengkabarkan betapa layaknya kehidupan dipertukarkan dengan kematian
mereka begitu tangguh memberi perintah
: sementara di bawah pasir-pasir telah tertimbun sepasukan nyawa ketakutan

dan akhirnya telah mereka balas titipan jauh
dengan airmata perempuan yang menjenguk nisan atas namanya


medan/bambang saswanda harahap

Bagaimana jika aku bercinta dengan angin

jika saja angin bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dicintai, mungkin tak seberapa keberadaanmu disini, tak akan tertangisi olehmu kami yang terbang meliukliuk melewati setiap likuliku waktu,
lalu pada jendela rumahmu kami akan mengendap, mengintip rupamu yang dizalimi keliaran perasaan yang salah kau muarakan. ternyata cemburu telah menutupi duniamu, engkau telah lupa, aku tak sekedar bercengkerama dengan rindu, tak sekedar membuat jantungmu berdetak, keberadaan ini serupa jalan terbentang, jika mundur pilihannya hanya kesusahan hati bagiku.

namun bagaimana jika angin terlanjur membawa pergi, nun di mana matamu tak mampu menangkapku, cobalah resapi segala kisah, apakah kan kau dapati aku seperti sedia kala?

merataplah.
biar aku semakin hilang dalam nyatamu.


medan/ bambang saswanda harahap

Sebungkus Bola Memantul

bola..bola..bola..MEMAN..tul/meman..TUL..BOLA..BOLA..BOLA
tul..Meman..tul..MEMAN..tul..BOLA..BOLA..BOLA/bola..bola..bola..TUL..meman..TUL..meman..TUL BOLA MEMANTUL/memantul bola/MEMANTUL..BOLA..MEMANTUL/bola..memantul..bola
BOLA..BOLA..MEMANTUL/memantul..bola..bola/memantul..mantul..BOLA.. bola..bola..MEMANTUL..
ah..bola..ah..memantul

***
ini dik, bola yang semula memantul setelah kubungkus menjadi diam, maafkan aku dik, yang tidak mampu memberikanmu sebungkus bola memantul. Mungkin lusa, bola memantul akan terbungkus. Tentunya untukmu dik.

dik ini bola memantul, tapi setelah memantul tak bisa dibungkus, maafkan aku dik, mungkin lusa, bungkus bola memantul akan kutiup seperti pintamu, hingga bola memantul-mantul dalam bungkus yang kutiup. Tentunya untukmu dik.

bungkus bola memantul sudah kutiup dik, namun aku lupa memasukkan bola memantul kedalam bungkus bola memantul, bola memantul masih memantul dik, tapi tidak dalam bungkus bola memantul, mungkin lusa dik, bola memantul akan kumasukkan lagi kedalam bungkus bola memantul. Untukmu tentunya dik.

bola memantul sudah kumasukkan kedalam bungkus bola memantul dik, tapi aku lupa meniup bungkus bola memantul, bungkus bola memantul masih bisa untuk kutiup dik, mungkin lusa, bungkus bola memantul akan kutiup menjadi bungkus bola memantul. Untukmu tentunya dik.

dik, ternyata hujan ini begitu tajam hingga bola memantul tidak lagi memantul dik, dan juga air dari mata begitu deras hingga bungkus bola memantul menjadi lembab dan tercabik, tunggulah dik, bola memantul dan bungkus bola memantul yang baru sudah kupesan, mungkin masih di perjalanan menuju rumah kita, lusa nanti pasti bola memantul dan bungkus bola memantul akan tiba. Untukmu dik, hanya untukmu.

dik, akhirnya perlu kau mengerti bila bola memantul hanyalah kisah, dan bungkus bola memantul adalah irama, yang kunyanyiceritakan padamu menunggu matamu terkatup, setelah itu kau bebas untuk bermimpi apa saja dik, seribu bola memantul dan bungkus bola memantul silahkan kau kunyah, ini hanya cara dik, sama seperti aku mengisahkan padamu tentang menu-menu makanan yang tak kunjung matang dalam ceritaku, hingga laparmu lena menjadi kantuk, begitulah dik, sementara hujan ini masih belum milik kita, jangan kau sedih dengan airmata yang ruah.



Medan, Bambang Saswanda Harahap

11.03.2009

dari kedalaman

Dari satu peristiwa ke peristiwa ia berlari dengan kaki pecah, sementara di kedua belah tangannya ia masih saja setia menggenggam keinginan untuk anak-anaknya, untuk tidak menangis ketika malam telah membunuh seluruh sepi. demi secangkir dan sesuap kesempatan.

*****

satu perjalanan, bumi atau bulan atau selaksa perih pedih, hewan-hewan, gugur bunga, setelah gerimis pecah, gunung-gunung, liang-liang lahat, purcama atau berarti, tenang atau galau, hingga tiba masanya menunggu satu kreta malam, menuju kota-kota, berziarah dalam kelam dalam sunyi, untuk menemukan sesuatu yang berada diluar dirinya, tentang senandung anak-anak pencari sampah, anak-anak penyanyi musim, anak-anak hujan dan badai, demi sejumput keinginan yang berserakan, lalu satu memisahkan diri, pulang kembali, letih terlelap, dalam air dari matanya, yang jatuh pada lelahnya jalanan yang tak henti saling membunuh.

Aku Sedang Melihat Bumi Memiliki Dua Bulan

aku sedang melanjutkan usia
dari mata-mata dan angin, menuju dadaku yang retak
masihkah lagi kau menegurku bunga
mengerling manja, mematahkan satu-satu jemariku yang ingin menampar mukamu

aku sedang menghindar dari camar yang berkejaran
sebab aku tak ingin patuk bibirmu mengunyah lagi rumpun mataku
yang selalu hilang tenggelam
jika ingin aku menggadai rupamu dalam angan-angan

aku sedang melihat bumi memiliki dua bulan
terpasung antara cahaya-cahaya yang menjerat
sementara di matamu lagi
mimpiku hilang

aku tak sedang lagi
mengulangmu disini
cuih..
: kuwariskan keinginan pada sekotak mimpi. yang tak berpeta dan berjejak.

Doa-doa yang Berkelana

Doa I

karenaNya
rebah darahku di sini
mengalir
hah.. pajang-pajang rupamu, di makamku, dimana kata mereka kubur bersama
aku ingin Tuhan. mengangkat tabir-tabir di ujung sana, tempat para malaikat, menanak mimpi bumi

karenaNya
tumpah imanku, laksana mengutuk-mengutuk bisu takdir, seperti mencuri, di sela-sela kampung ibadahku
huh.. tikam-tikam setan di dadaku, dada kita, retak entah, prilaku dari hutan-hutan yang memelihara jin
tempat para dosa dan pahala bersembunyi

..........................

Doa II

KarenaNya
aku ingin mati
dalam keadaan tak berkelahi denganMu
hah.. lapangkan kuburku, di mana aku akan ingat "siapa nama Tuhanku"
aku ingin Ia, meletakkan ku pada surgaNya, tempat para wali baik, menyaksikan janjiNya

karenaNya
percayaku tentang masa-masa, untuk mengarahkan kepalaku pada kiblatNya
huh.. bersihkan urat darahku, dari laknat dan murka, aku tak ingin neraka
tempat para dosa dianiaya

Doa III

Tuhan..
Jemput aku
dalam hingar bingar doa padaMu

Hening

bukankah keheningan tempat mencari
segala yang tidak kita temukan

(degup...degup...degup..degup
ha...ha..ha..ha)

persetan mengenal diri
persetan menjadi diri
kita telah asing
dengan degup jantung sendiri

(degup..degup..degup..degup.
ha..ha..ha..ha..ha)

suara maut berkejaran
mengintai setiap diri yang tak saling mengenali
aku, kau dan mereka, sama saja menunggu murka
lalu mari kita dengarkan tangis-tangis yang setiap saat akan pecah


lalu kemana kita membawa pertapaan ini
sementara terjun di atas sana sebentar lagi akan runtuh
menimpa tubuh kita
kasihanilah diri dan hati kita, jantung kita, dan juga engkau yang memandangku membaca puisi
mungkin juga akan rubuh tertimpa

lihat..!!
siapakah manusia itu, kita?
yang selalu berlari seperti anjingkah?
dengan lidah yang terjulur menerkam apa saja, membantai siapa saja, memakan hak siapa lalu mengencingi muka siapa?

(degup..degup..degup..degup
ha..ha..ha..ha..
kita telah menggonggong kesurupan hingga tak mendengar degup jantung yang kecemasan)

dengarkan, dengarkanlah
masih berbicarakah manusia itu

(degup..degup..degup.. degup
ha..ha..ha..ha.. )

dadaku ngilu mencibir bibirku yang membatu
bisu ternyata kita dengan degup dada orang lain disekeliling kita
degup yang lapar, degup yang takut, degup yang berhenti
tak saling lagi menjenguk berucap salam berkasih-kasih

mari kita pulang
menata perjalanan kembali
bukan hanya esok yang selalu kita pancang dengan khawatir
tapi tugu sejarah yang tertinggalkan, rindu untuk diziarahi