12.26.2008

Wanita Bermata Biru

pun jika nanti kau tiba dalam temaram
aku masih mengenang baumu yang kususun rapat
menjadi setumpuk taman
kan kau dengar decak kumbang yang sujud pada setangkai mawar memberi isyarat
untuk mata birumu yang berkedip malu

12.16.2008

Masa Kamboja baru kutabur

layaknya inilah yang kau sebut pertempuran hati
dimana aku harus keluar masuk rahim lara
oh kau yang sedang menunggu waktu
sebegini nyatakah cerita ini menjadi kisah yang teruntai

jangan kau lupa katamu di dalam sesak-sesak nafasmu
terakhir ini aku membulir air mata untukmu
kutinggalkan kau sebab senjaku tiba
hitung butir pasir itu, lalu gumul ia menjadi jejak.setelah itu kau taburi kamboja dikuburku

yah begitulah
dimana yang tertinggal adalah aku
mengusung bayangmu selalu
hingga beribu musim berlalu

12.15.2008

Orang-Orang Lapar

carut marut
pagi buta dibentak nasib
siang diperdaya nasib
malam dirajam nasib
lalim benarkah kau yang menganiaya ku yang belum makan

*Revisi*

12.14.2008

Sajak Terluka

legam nian
sengketa
sajak terluka
dimuntah dusta penyair
berlinang-linang
memohon ampunan

12.09.2008

Hingga Setan pun Terharu?

setan mengeja puisi
dari menunduk
hingga tersedu
"apa yang ditulis penyair hingga setan pun terharu?"

12.07.2008

DirumahMu air mataku derai

aku yang terpaut jauh dari jalan menuju janjiMu
berlama-lama di gaduh penggoda dari bara api nerakaMu
semakin tenggelam ku sujudkan diri dalam rumahMu
Mekah yang berselubung takbir membuncah air mata

Mimpi

purnama di ujung mata memecah buih di angin
melabuhkan segenggam asa dalam bukit-bukit menjulang ke awan
menyunting wanita-wanita yang tak pernah di caci terik
hingga membayang udara dalam tarikan nafas adalah surga

teruslah menjejak pasir-pasir dalam angkasa lamunan
membumbung memuncak menanggalkan beban di pundak
mengayuh setingi-tingginya kesenangan
meramu mimpi di kutub bumi dini hari

Duhai Nestapa

Duhai nestapa
perihnya sudahlah senja
bak peniti luka mencucuk usia
renta ia dirundung air mata

duhai nestapa
tanggalkan ia yang diujung sana
gemetar tegak lapuk dicerca genangan siksa
merenda duka merajut derita

duhai nestapa
tiada usai jua padam kobaran dera
dari satu darah kedarah matanya
menukiklah tajam sembilu dipangkal lehernya

Sumbang

terkutuklah
cinta yang berderak-derak di pangkalan telinga
mengingang laju kumuh
bersenggama hina kau bertanya pada sengsara

sepasang sekoci berlumur lumut
membatu bersama karang
daripada kau terjungkal ke lautan
mari kita eja perhelatan dengan semestinya

terkutuklah
cinta ditambah cinta menjadi sampah
terciumi sengatan membesarkan arwah di dalam kubur
sungguh..kuncilah hati sebelum kau terbawa digiling kunyah

peradaban kau gilir dengan martabat sumbang
kau gulai mentah dalam belanga kubangan air mata
mendidih jantung kesumat menatap mata tersumpal bara
jangan cinta kau ucap perlahan pada yang lapar di pesisir hujan

pejabat desa bersukutu dengan setan dengan tengkulak
merajai iblis dalam sumpah serapah memutar masa
duh..sampai setega ini cinta mereka simpan pinjamkan
terkadang gadai sudah dalam meja perjamuan bersama pimpinan setan

Badai anak nelayan

pecahan kaca dalam air mata
menitikan racun dalam gamang
menyibakan luka-luka seperti terbawa ombak
kepedihan yang teramat menganiaya sudah singgah dalam senja

ada dua bocah setengah berbaju
berbaris di jilat badai
menelentang menantang hujan
sementara di balik punggung-punggung mata kail menancap pongah

anak nelayan dalam persaksian
menghitung setiap derak nyiur yang mengerlap merantai kunang-kunang
melambung setinggi bintang-bintang kejora
menyapu langit dengan ijuk luka dan lidi nestapa

12.03.2008

Maaf…Kau Terlambat Datang Jandaku

Mungkin kau angin yang datang dengan mata berkaca-kaca
Tiada mungkin bisa ku sambut kau berlutut
sembari memakai senyum lama
menyuguhkan senja penyambutan dengan pertunjukan maha bahagia
sadarkah apa yang kau lakukan akan menjadi luka yang berulang
sebab lembaran cerita yang kususun sampai sedih lembab sudah berkecamuk tempias

terlalu larut aku menantimu dibalik tirai yang tak pernah kau singkap
sampai aku hampa menghamba pada kesunyian
menjatuhkan tetes belulang yang lebur
menganaktirikan kebahagian yang seharusnya kubesarkan
sementara kembali itu kutunggu dengan berkecamuk ragu
hingga terompet penanda babak kita telah usai menggema lantang
kau berakhir,tanpa ada harapan sebab telah kumulai episode baru dengan peran sama
ijab kabul telah yakin kuucap kembali dengan penyerahan menyeluruh

Untuk Istri Baruku, Sarina

Berdoalah kau Sarina
Agar aku bisa luput dari bayang-bayang lama
Cemburu saja sebab dengan itu aku merasa dicintai
Tak perlu kau beradu kata, asam garam cinta dan tipu daya sudah begitu akrab denganku

Sarina istri baruku yang ku nikahi tadi pagi
Aku pemain lama yang sudah mulai lupa dengan lapangan yang akan kumainkan
sejak gawang dibawa pergi bersama mantan istriku 6 tahun lalu
dan selama itu aku tidak turun lapangan

Sarina maafkan aku
Diam-diam aku memetik mawar yang pernah ditanam mantan istriku dibelakang rumah
Itulah yang kusematkan ditelingamu senja ini
Mungkin inilah serah terima cinta menurutku

Mari kita mulai babak ini
Semoga malam ini rahimmu meramu janin laki-laki
Aku berharap akan ada yang menemanimu setelah aku mati
Menjaga saat godaan suami baru mengganggumu

Segelas jamu kuat kutelan habis
Lampu mati
Aku memulai kewajiban
Setelah itu tak mampu kuceritakan
Saat terbangun sekujur tubuhku keletihan

Pledoi Puisi keduapuluh

majemuk sudah perasaan
tanpa kompromi mengaduk-aduk hati
membuat cita rasa
yang akhirnya asin, seperti air mata

berbeda jauh
antara tadi malam dan siang ini
tetapi tetap hadir menghakimi
aku yang menjadi tersangka dalam pengadilan hidup

puisi kedua puluh yang aku tulis siang ini
menjadi pledoi yang kubaca diam-diam
maafkan
aku menyesal..

Tanpa Judul hanya kerinduan

aku yatim
di lahirkan sama dengan kelahiran ayahku
tentu berbeda tahun
ah untuk apa ini ku sebutkan

aku dahaga
dalam kerinduan
belaian ayahku
mungkin itu yang ingin kusampaikan

Perjanjian Siang Ini

Berdendang sendiri aku siang ini
Menutup diri
Mengurung hati
Mengunci akal
Dalam perenungan panjang melelahkan
Sebuah kesimpulan
“berjanjilah… untuk tidak bolos kuliah lagi”

Pesan Untuk Guru

Untuk guru di republik ini
Selamat siang
Ajarkan anak bangsa ini tentang kehidupan
Semoga kelak mereka hidup dalam kedua belah kaki mereka sendiri

Hitungan Detik

Tepat 11.52 siang
Tiga desember duaribu delapan
Usiaku hari ini
Bertambah beberada detik

Sawah-sawah Harapan

Sawah-sawah harapan
Menumbuhkan benih-benih hidup
Yang tertanam seperti esok
Menjadi penjaminan akan kelangsungan

Silahkan berganti musim
Deraskan hujan
Terikkan mentari
Hidup akan terus berputar bersama jarum waktu

Inilah nyata
Detik ini..
Yang belum sempat tertulis sudah berganti ke detik berikutnya
Begitu singkat

Tanam harapan
Tumbuh kembangkan hidup
Dalam waktu Yang melaju
Akan seperti apa esok yang masih tetap misteri

Warisan

Manakala
Aku berhenti menulis
Maukah kau
Menjadi saksi bahwa aku pernah disini menulis

Manakala
Aku berhenti hidup
Maukah kau
Menjawab bahwa aku pernah hidup disini

Aku berharap kau menjadi roh hidup dariku
Melahirkan jiwaku
Menjadi ganti abadi dari ketidakabadian ku
Menjadi pelipur lara atas kerinduan

Kau yang ku tulis
Ku wariskan akal pikirku hari ini
Dalam bentuk mu
Jadilah saksi hidup dalam kematian ku kelak

Kau yang tertulis
Menjadi tulisan
Adalah kisah panjangku
Yang bercerita pada malam dan siang saat aku berhenti menikmatinya…

Satu-satunya

Satu-satunya
Keinganan adalah harapan
Dan harapan akan hidup bersama gerak-gerak mu
Ibu yang masih bekerja sampai dini hari untukku

Satu-satunya
Hidup dalam kehidupan
Adalah ibu
Yang hidup dalam sanubari bersama harapan

Satunya-satunya
Harapan
Adalah ibu
Yang tulus memberi harapan dalam kehidupan

Wakil Rakyat Para Pedagang Sayur

Kapan
Pedagang sayur punya wakil rakyat pedagang sayur
Dalam gedung rakyat
Yang bangga hanya makan sayur

Intelektual Penjajah

Tolak Bungkam
Judul orasi mahasiswa pagi ini
Sementara
Ia begitu kenyang dalam kebungkaman itu

Hidup Mahasiswa
Teriakan yang semakin parau
Bahkan sumbang
Karena ia begitu kenyang dalam teriakan sumbang itu

Hidup Rakyat
Teriakan yang semakin sepi
Bahkan mencibir mengejek
Karena ia begitu kenyang meneriakkan cibir pada keramain kelaparan

Mau jadi apa kampus ini
Jika potret yang kau tampilkan
Adalah drama kekenyangan bersama jamuan penguasa
Intelektual penjajah akan terus lahir dari rahim kampus yang lupa ingatan

Kawan-Kawan Anti Kemapanan

Bebaskan aku seperti mu kawan
Bawa aku mengais hidup
Seperti harapmu yang begitu liar
Hingga jalan ini kau maknai sebagai kehidupan

Kau memetik ia dari setiap tangkai
Kau terjemahkan wanginya menjadi mawar
Ku resapi ia menjadi keindahan
Yah.. kau begitu menikmati hidupmu kawan

Saat-saat kapan kau sedih ;tanyaku memasuki ruang anganmu
Hanya gelengan kepala ; begitulah perasaan
Damaikan hatimu dengan maha penyerahan dalam ikhtiar
Niscaya kan kau dapati guru kehidupan yang berada di hati mu selalu

Duh kawan
Kau seniman hidup
Memerankan peran yang kau sutradarai sendiri
Dalam naskah yang kau tulis sendiri
Dengan latar yang kau susun sendiri
Disini Aku setia menunggu pementasanmu berikutnya

Entahlah

Arus air di danau kehidupan
Semakin beriak
Sementara aku tau ini begitu dangkal
Ada apa dengan hidup ini yang entahlah

Enggan

Enggan
Aku menuntaskan kebosanan
Yang bercengkerama bahagia
Dalam detak kehidupan ku siang ini

Enggan
Aku memilih jalan
Sementara Begitu syahdu irama terik
Membakar ku dalam-dalam hingga menjadi abu

Enggan
Aku tau ini seperti lelap
Apapun mimpi
Toh kesadaran adalah kenyataan

Duh…
Jalan ini menuju apa ya?
Perdebatan dalam diri semakin nyata
Aku betah memuja kebebasan
Sementara persekutuan penguasa buas menyeretku dalam aturan edan

Umpama Ini adalah Perang

Umpama ini adalah perang
Antara setan dan malaikat
Yang beradu dalam hati
Maka aku adalah pedang setan yang menembus kulit malaikat

Mengapa demikian
Tanya bumi dan langit
Sebab aku membunuh kebajikan dalam hati
Dengan genggaman kebathilan

Umpama ini adalah perang
Aku adalah pengukir kisah
Yang melakonkan kejahatan
Hingga pertumpahdarahan pecah antara kedua sisi kehidupan

Baik dan buruk
Hitam dan putih
Setan dan malaikat
Telak saat ini, aku berada di golongan hitam bersama setan yang buruk

Umpama ini adalah perang
Yang beradu dalam hati
Sungguh..
Maafkan aku.

Apa Lacur..!!!

Apa daya upaya
Saat usai itu ku beri tanda terima
Perjanjian tentang esok
Ku ukir berani seperti pemimpi

Apa lacur
Tentang aku yang mengaku aku
Tentang pecundang
Melacurkan diri dalam angan

Hisap sebatang rokok
Mengepulkan resah
Membawa pesan tentang kisah
Pemuda desa pulang menghadap rumah bersama luka

Kematian Harap

iringan-iringan pembawa sesal
di tandu lah kecewa dalam keranda luka
terseok-terseok menuju rumah tanpa secercah cahaya
para pelayat sinis menatap, mencibir dengan gerah

aku didalamnya
terbaring kaku menunduk ke tanah
sangat sempit rongga dada
seperti adegan kematian yang berbeda kisah

dalam tandu ada kecewa
dalam keranda ada luka
dalam iringan ada sesal
bersorak pelayat mengarak kegagalan yang belum dikafankan

Aku Telah Menuai Sesal Bu…

jari-jari ibu
ku iris dengan debu
ku sayat dengan abu
hingga lumpuh ibu membelaiku dalam lelap

tunduk ibu
semakin ku tekuk dalam
lelah ibu
ku lelahkan dengan sesal

masihkah ada tempat
untuk harapan yang pulang dengan sesal
sambutan apa ya ibu
jika kau dengar aku menceritakan kegagalan

Harapmu dik

untuk adikku yang berharap
jangan kau temui aku saat ini
aku sedang berlumur duka
mungkin saja tiada lagi esok untuk kita bercerita cita

maaf dik
aku memilih jalan salah
entah di persimpangan mana aku ragu memilih langkah
hingga dihadapku jurang ini tiba-tiba menganga

aku harapmu dik
yang tiada memberi harapan
maafkan abang ya
yang telah usai dalam kalah

Selamat Mati Kau Penyair

Syairku berlutut
Sajakku tunduk
Puisiku rebahitulah penggalan cerita

Tentang syair yang berlari pergi
Meninggalkan bait-bait yang belum tuntas
Jelas menipu diri ia penyair
Tertulis jelas “maaf, jika hidup adalah ini, maka aku pun memilih punah didalamnya”

Lagi tentang sajak yang membela diri
Telah mati ditinggal mati
Untuk apa kau penyair mencerca diri
Sedangkan malam masih saja kelam

diakhir kisah
rebahlah puisi sendiri
berkaca-kaca menatap nanar pada penyair
yang memilih pergi meninggalkan kisah

Gerhana Awal Desember

Gerhana itu telah tiba
Menyelinap daun-daun mata
Menjadi seonggok batu kali
Menghimpit ku yang benam di dalamnya

Gerhana yang kuandai menjadi kebuntuan
Pekat dan menampar-nampar
Kedua belah tangan yang mengarah muka ku sendiri
Sudilah kiranya waktu memutar lagi saat purnama

Mengapa disaat gelap ini
Aku mengingatmu sang cahaya
Mengapa disenja merah
Aku menganiaya diri menjadi durhaka

Harap kembalilah
Aku dirundung cemas yang begitu menyiksa
Langkahku hampir usai
Tinggalah sesal yang ku bingkis untuk cerita anak cucuku

Aku Tuntas Mak

Jika
Andai
Dan apabila
Saat logika hidup tanpa peranan menumbuk batas

Mencapai titik-titik yang kaku
Melontarkan kecendrungan mengakhiri perjalanan
Berhenti dalam garis gagal yang menjadi buaian proses panjang tanpa nilai
Dosa apa yang telah aku hamili hingga melahirkan janin pasrah

Tuhan
Aku takut
Sebentuk kecewa telah menampakkan diri
Angkuh berdiri di depanku menjadi bayangan ku sendiri

Aku pulang mak
Lagi-lagi dengan ketuntasan hidup
Sambut aku lagi
Yang telah kalah telak tanpa apa-apa.