sejak sajakmu terjejak dalam barisan serdadu perang desember
kita berhujan-hujan kata, menuruti kayuh sepeda ontel lelaki tua berambut wangi
yang sekali tempiasnya kita terjemahkan bersama
diatas teras rumah orang seberang yang asing
menghambalah kita pada kertas-kertas yang telah dilumuri ludah kopi kita
asap-asap rokok yang genit mengepul pun tak tinggal diam
menerka senyum pelepah kelapa, mencerna seringai hampar pantai tengah malam
yang pasirnya putih, seputih warna malam yang sedang kita gubah menjadi hitam
aku sedang menuju langit-langit kataku tanpa ingin mengangkat setapakpun pijak kakiku, katamu dengan desah nafas yang tertukar dengan angin terkirim lautan,
sesekali kalian selipkanlah puisi diantara penat yang hanya akan mengukur umur
: hingar bingar dunia ini kawanku, tak lebih dari protes anjing yang bersuara parau, mengonggong untuk perutnya yang tak terisi, setelah para penguasa mengajari kita lupa menanak nasi dengan permainan harga
aku sedang menuju bumi jiwaku tanpa ingin kepalaku tersuruk busuk didalam tanah yang ada darah penganiayaan akan nasib dan takdir
sesekali kau taburilah dengan puisi, agar perang ini sedikit bernyanyi
: tak seperti cemooh dan tingkah mereka yang berpura-pura, kepada segerombolan orang yang tak mengerti apa itu hukum dan hukuman, mereka hanya bercanda, diantara permaianan azal dan kematian
batukmu semakin parah
sembari merapikan pecimu yang hitamnya mulai berubah
ah sudahlah katamu terhentak
: rapikan buku kalian, penuhi bumi ini dengan puisi, sebagai penyeimbang kebohongan. bukankah kita ingin mati dalam keadaan tidak mengeluh?
8.28.2009
ditiga masa yang menandakan kita masih dalam perjalanan adikku..!!
di secarik kertas di bawah bantal ibuku
aku melihat tulisan tangan ayahku
: tak ada kebagaian yang lebih bahagia selain melihat kebahagiaan kalian, kalian yang memiliki kehidupanku
di bola mata ibu
aku mengapung
: oleh genang air yang terbendung.
di nisan makam ayahku
ada nyala yang membakar
: tidak sekedar rindu
untuk adik-adikku
: jangan ceritakan pada siapapun tentang dinding rumah kita yang lapuk, sebelum aku mati..!!
aku melihat tulisan tangan ayahku
: tak ada kebagaian yang lebih bahagia selain melihat kebahagiaan kalian, kalian yang memiliki kehidupanku
di bola mata ibu
aku mengapung
: oleh genang air yang terbendung.
di nisan makam ayahku
ada nyala yang membakar
: tidak sekedar rindu
untuk adik-adikku
: jangan ceritakan pada siapapun tentang dinding rumah kita yang lapuk, sebelum aku mati..!!
Pamit
aku tak melihat lagi gelora mata yang membakar di tubuhku
hingga sepatahpun tiada tersisa
tentang pusara
tentang kamboja
tentang puisi
terkubur satu
kabar telah sampai
mungkin aku pamit mencumbumu
kata-kata yang setangah musim menduri dan membangunkanku
selamat tinggal
kutitip puisiku, pada angin, pada cahaya, pada malam, pada kehidupan yang masih menghidupinya tanpa penjaga. jikapun lapuk, biarkan ilalang dan rerumputan yang mamakamkan..!!
hingga sepatahpun tiada tersisa
tentang pusara
tentang kamboja
tentang puisi
terkubur satu
kabar telah sampai
mungkin aku pamit mencumbumu
kata-kata yang setangah musim menduri dan membangunkanku
selamat tinggal
kutitip puisiku, pada angin, pada cahaya, pada malam, pada kehidupan yang masih menghidupinya tanpa penjaga. jikapun lapuk, biarkan ilalang dan rerumputan yang mamakamkan..!!
Langganan:
Postingan (Atom)