TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Chief Executive Officer (CEO) www.letterater.com, Bambang Saswanda, situs yang telah menghabiskan dana pribadinya sekitar Rp 100 juta tersebut, ia katakan pula akan terus dikembangkan. Meski pada bulan November 2011 lalu ada tawaran investor yang menggelontorkan dana ke situs tersebut, Bambang menjelaskan sama sekali belum tertarik."Rata-rata investor yang ingin menggelontorkan dana ke situs ini masih bersifat personal. Belum ada perusahaan-perusahaan yang memberikan penawaran ke kita. Tetapi intinya bukan di sana, potensi besar situs jejaring sosial cukup besar di Indonesia apalagi kami akan melakukan renovasi agar situs ini bisa diakses melalui seluruh perangkat gedget," ujarnya di Medan, Selasa (28/2/2012). Dikesempatan yang sama, Bambang menjelaskan setelah resmi mengeluarkan versi www.letterater.com untuk Blackberry, pembaharuan situs akan kembali dilakukan untuk mempercantik tampilan. Situs www.letterater.com, yang pada saat ini menempati posisi sekitar 1.200 dunia dan duduk di posisi 30 ribu untuk nasional di situs Alexa, ia katakan sudah cukup baik dibanding media-media online yang malah tidak memiliki konsep sama sekali. "Pada hari ini saya sekaligus ingin menyampaikan kekecewaan. Kami ini sebagai penghasil karya bukan penikmat karya, tetapi anehnya tidak ada apresiasi yang dilakukan pemerintah. Kami bukan meminta dana, paling tidak sosialisasi yang jelas bahwa anak Medan mampu menghasilkan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter sudah lebih dari cukup," ujarnya. Lanjut Bambang, dalam pengembangan situsnya kedepan tim letterater, yang dipunggawai olehnya akan menghadirkan materi-materi khas Sumatera Utara. "Kenapa orang Medan pakai bahasa loe dan gue. Saya kira ungkapan kau, aku, bah, lae, lebih pantas. Bahasa Medan itu gaul kenapa kita meniru Jakarta dalam berbahasa," pungkasnya.(Irf/tribun-medan.com) Penulis : Irfan Azmi Silalahi Editor : Wiwi Sumber : Tribun Medan
PUISI DALAM WAKTU
"Ibu adalah sinonim cinta dengan segala tanda bacanya"
2.29.2012
Bahasa Medan Itu Gaul
Letterater Resmi Publis di Perangkat Blackberry
12.04.2011
11.24.2011
Wanita Cantik dan Letterater
11.23.2011
7.22.2011
Cerita www.letterater.com, Bagaimana ini dimulai
tetap kami harus katakan. bermimpi adalah pekerjaan gratis yang tidak menguras tenaga. dan darisana semuanya berawal.
aktifitas kami di kota ini sama seperti aktifitas mahasiswa kebanyakan. tidur larut malam dan kadang sampai pagi. kemudian siang harinya kami selalu kalah bangun dengan matahari.
Selayang 4a setiabudi medan
di rumah ini ide kami besarkan, mulai dari rencana gila untuk mengakuisisi google dan facebook sampai berencana beternak semut dan mengirimkannya ke berbagai kantor pemerintah.
rumah kontrakan kami memang tergolong unik, di kota medan yang serba padat ini kami tinggal di pinggiran sawah. suasana sunyi dan tetangga yang bersahabat. ini semua menjadi vitamin tersendiri untuk perkembangan ide yang biasa dimulai dengan celetukan dan canda yang kadang terkesan berlebihan.
www.letterater.com kemudian digagas dan dimulai. jreng..jreng..jreng
tarara..!!
mulailah kesibukan itu berlipat ganda, fokus dan kosentrasi dikuras habis. aktifitas semakin padat. ide yang semula terpacah menggumpal menjadi gumpalan padat yang disiap untuk digulirkan kapan saja.
konsep yang dibuat seolah-olah seperti merancang sebuah negara. detail visi yang dikembangkan secara terus menerus juga mulai menuntut keseimbangan. tiada hari tanpa layar komputer, surat menyurat, berkunjung ke kantor apa saja, bertemu siapa saja dan mencari kesempatan untuk menyampaikan visi ini sehingga orang sekitar kami mengerti kalau ide ini digarap bukan sekedar iseng dan mengisi waktu luang.
7.18.2011
Mahasiswa Medan Ciptakan Jejaring Sosial Imbangi Facebook
Bedanya, program yang diberi nama letterater, dominan ditujukan kepada para user yang hobi menulis sastra seperti puisi, cerpen, dan esai.
Seperti yang diutarakan Bambang Saswanda Harahap, yang mempunyai konsep bahwa dirinya melihat kelemahan facebook dan twitter semua orang boleh menulis tanpa ada batasan konten sama sekali.
Yang hasilnya, kualitas dari isi konten bisa dibilang tidak ada sama sekali dan lebih dominan hanya untuk prestise pengguna belaka.
"Sebenarnya yang memiliki konsep website jejaring sosial ini ada dua orang. Saya dan Palit Hanafi Lubis, yang saat ini masih berstatus mahasiswa S2 komputer Universitas Sumatera Utara (USU), Ujarnya.
"Kami juga mengajak tiga orang adik kelas kami untuk ikut merancang skema website ini antara lain Bambang Riyanto dan Rodiyah yang saat ini tercatat sebagai mahasiswa sastra USU serta Joshua dari kampus IBBI Medan jurusan komputer."
"Jadi sebenarnya kami ada lima orang," ujar angkatan 2006 Fakultas Sastra USU jurusan Perpustakaan yang sampai sekarang belum menyelesaikan skripsinya, Rabu (13/7/2011).
Ditemui Tribun di satu kafe kawasan Jalan DR Mansyur Medan, ia mengatakan www.letterater.com, sebenarnya formatmanya sama seperti jejaring sosial lainnya.
Bedanya mereka mencoba mengarahkan untuk user lebih bijak menulis apa saja di dalam dinding websitenya.
Misalnya, terdapat tab (pilihan halaman website) yang mereka ciptakan bernama puisi, cerpen, resensi film, resensi buku dan esai.
Editor: Anwar Sadat Guna | Sumber: Tribun Medan
5.22.2011
Kurasakan hujan lalu kudengar gerimis
dan aku tidak sedang menggelar malam pada pelataran tanggal, atas nama rindu yang sedang mencari rupanya : kudengar gerimis sedang membantaimu
Pesta
sementara di samping rumah ada pesta pernikahan
kulihat kedua mempelai bahagia
sangat bahagia..!!!
Sesepi-sepi
tiba-tiba aku ingat kau
dengan segenap rasa tak berdaya
#mungkin kau tahu, kau telah ajarkan aku rasanya sendiri
dengan begitu lengkap
tidak pada sebotol anggur
tidak juga pada foto dalam bingkai. pesan-pesan singkat dan percakapan cinta beberapa tahun lalu yang kadang masih mengulang bila dikenang, aku mabuk- mabuk yang berat dan panjang- setelah menulis sajak-sajak tentang kepergian, tentang rahim yang diceritakan pada tong sampah dan kolong jembatan, kadang di halaman rumah mewah yang didalamnya penuh pertengkaran. lalu esoknya aku dikenalkan bahwa mabuk dan sadar sama-sama diciptakan dalam kenyataan.
Mencari Kabar
sampai disini bicara, aku ingin kau membaca betapa udara adalah musuh paling tajam di ujung mukamu, dan angin bukanlah lukisan, yang semesta buat bergetar untuk mencatat, sudah berapa banyak kata-kata yang hanyut ke langit. menyampaikan bagaimana Tuhan hadir sebelum sejengkal langkah dan setarik nafas, pun sebelum kita sempat berbuat baik atau dosa.
musim telah memecah belah kita, dalam kemarau panjang dan hujan yang tak berkesudahan, sementara kita sendiri menyadari kebaikan mewujud pada tempat paling rendah dan paling tinggi. lihatlah mereka berdoa menatap ke langit setelah itu mereka bersujud sampai kening mereka serendah kaki.
demikianlah tercatat. tidak akan pernah ada ketakutan untuk berbuat baik, dan seharusnya kebenaran adalah buah dari segala peristiwa, akar dari segala rencana, dan bunga dari segala hikmah- hingga kehidupan pantas dijadikan taman untuk mengisi kelanjutan cerita kelak, -kematian-
Tidak sepanjang pesan singkat
biarlah rindu berkecimpung di alirnya waktu
mungkin akan ada catatan, jalan dan pohon aru
tentang gadis pantai yang mengikat rambutnya menjadi abu
ia membiarkan kita mengenang masa, saat ia meminta gerhana membuat wajahnya di laut.
entah berapa kata yang kutuliskan di halaman yang telah penuh daun kering
menunggu hujan aku padamu, menunggu pasir-pasir hanyut ke selokan
meminta radang kesepianku lebih tenggelam lebih dalam lagi
menemui ajalnya di balik batu kali yang mengigil
ikan-ikan menuju muara
ia begitu lelah, mengendap di balik sampah-sampah masa lalu yang masih bergairah
seperti kataku beberapa waktu lalu.
: kita isi hidup tidak dengan sekedar mengumbar kangen, tidak lantas membuat cinta seolah-olah sepanjang pesan singkat yang harus dibalas. cinta itu disitu, dimuara menuju samuderanya. bersatu bersama waktu. bersama ajal lautan dan gunung-gunung. bersatu bersama keadaan yang nyata, tidak butuh ilusi, untuk memastikan apakah di dompetku masih tersimpan fotomu.
#di wajah puisi
seperti peluk yang khusyu'
pagi tidak kembali
pada petikan yang serupa
saatnya tiba
puisi berjalan pada takdirnya
untuk ditulis kembali
untuk dibaca sepanjang hayatnya
tiba waktunya
energi kita pulang pada sarangnya
dan yang sisa
adalah kertas-kertas masalalu yang diisi kenangan melebihi ukuran tubuhnya.
pada tanah
diceritakan televisi yang penuh gambar
kematian tidak punya arus, tidak punya kabel,
lihat saja betapa mudahnya ia padam
5.21.2011
Senja di kota hujan
dan telah sampai aku pada setumpuk kesakitan,
antri dalam kota mimpi yang sedang dibuahi hujan,
jalan-jalan sepi, cemara dan taman kota bercinta sendiri-sendiri,
trotoar pecah dan lampu jalan memuncak ke langit, meninggalkan gelap menyepi di sudut hari, mungkin akan ada kejutan saat kau pulang
mendapatiku telah menyatu menjadi bau aspal
Kubaca kau sendiri
kubaca lagi tulisan yang lama merumputi setiap halaman masalalu.
pada satu tanggal yang kisah aku melihat kau hadir sebagai satu-satunya yang melengkapi,
sebagai satu-satunya tempat menyatu, bersekutu, berpadu, berdecak, bersiul, berdengung, bahkan menggetarkan seluruh kesepianku, tanpa sadar aku sedang mencari kesunyian yang kau bawa
- mencari dirimu dalam lembar-lembar yang semakin meninggalkanku.
kempus pagi ini
bahkan ruang kelas dan segenap catatan membusuk di sela jari-jari
mereka berjalan, dengan segenap harapan yang menjadi-jadi
anjinglah..!!
2.21.2011
Musim
candu pada hujan tanpa pakaian.
aku?
waras tak waras mewarnaimu.
Panggil Aku Timur
dari jarak yang kita rangkul di sepertiga tatapan malam yang kusam
aku tidak sedang berdalih apakah cinta harus punya sebab
yang aku tahu hujan mengajarkan
di genangan air bekas kakimu aku tak mungkin membasuh mukaku
karenamu. aku menjadi unggun kesadaran untuk habis
lenyap
lindap
dan
ah
o
.
Secangkir Teh
sepuluh tahun yang lalu saat cangkir teh yang kita sedu belum kusam
kau selalu katakan hidup dan bayang itu bertalian
disini. ditengah pelaminan anak-anak kita yang segera pergi
aku tahu : kau sedang menyeruput genangan sepi.
sendirian.
Aku Kunjungi Makammu
aku dihasut kenangan
aku temui kenangan
aku timbul tenggelam
aku berlalu
beranjak dari namamu
aku pecah
kembali
kenangan dan pergi. diam-diam membuntuti.
oh ayah..!!
Lemari Baju
tanggal dengan bulan yang berhenti
lemari lapuk tanpa pewangi
kutemukan gaun pengantin yang kacau
entah sudah berapa lama beralalu
dari kejadian
api yang tak sempat dijinakkan
Dik
menghantar penat ke puncak kepundan
menata hari kah kau disana
bersama ibu oh adikku.
aku disini sedang mengantar mimpi lapuk rumah
ke dalam beranda yang sudah kita sepakati dari awal
nyanyi burung dan kelakar angin di teras
kecapi air mata, atau sedu sedan yang menggigit
esok dan kelanjutan hari yang harus kita terka
Mabuk
berhadapan denganmu yang lebih country
: vodka dan wine akan satu meja, jika kau dan aku sama-sama mabuk.
Doa Tidur
Aku Ingin Berkaca
kutahu kau anggur yang netek di guci mabukku.
kutimang lagi kau seperti parade perkusi dan tetabuh gamang yang malang
ingat kalendermu yang gundah,
bening kaca jendela telah menetaskan wajahmu yang hanyut
bergelayut pada rintik hujan
selamat datang kepada biji matamu
: aku ingin berkaca.
Semusim Detak
Aku tidak memaksamu untuk menggematarkan bibir
sujud kepada angin yang tajam
yang harus kau tahu Kita adalah bagian yang terpasung
dari musim yang tak pernah kita pinta
lekaslah bangkit
banyak di jalanan cahaya matahari yang gratis
untuk kita tanak menunggu kiamat.
Semusim
Aku tak kenal musim semi
sebelum merasa bibirmu yang basah
kaulah yang ajarkan gerak kaku ini menjadi cerita
tentang cinta lembut penuh sambut
: kemudian ketika awan tak serupa warna, jarum meninggalkan pukul angka,
di atas pemakaman, kurayu engkau dengan doa.
Detak
Di dada siapa rindu itu menerjemah
pungutlah, aku ingin mendengar detaknya
(Medan, Oktober 2010/Bambang Saswanda Harahap
10.11.2010
Harus Kubiarkan Sajak ini Menulisku
kemana saja ia suka dan kemanapun ia akan berhenti
kubiarkan
tulislah aku menjadi, hingga keluar kesunyian ini.
penghujan akhir tahun
diatas duka yang sedang ranum
kutuangkan arak dan tuak, membasuh lara disana
menjadiilah sajak hujan basah
izinkan Tuhan aku mabuk
hingga kudapati KAU dalam hilang sadar yang ambang
sebab jua sudah kutunggu berpuluh pinta
tak satupun, tampatMu yang bisa kulamar
harus kubiarkan sajak ini mengayuhku
sampai ombak menenang sampai arus tak urus
usaplah aku menjadi
laut dan pelangi
izinkan Tuhan aku membenciMu
hingga kudapati KAU menjadi sebentuk cinta
sebab jua sudah kupinang berkali datang
tak sekalipun, senyumMu dapat kutawar
harus kubiarkan sajak ini membawaku
sampai jalan kudapati rambu
kejarlah aku kepada
perhentian tanpa upah
izinkan Tuhan aku menuduhMu
hingga kudapati KAU menjadi siapa
hilanglah gamang pupuslah resah
tak sesiapa aku tanpaMu yang Maha
Panyabungan Mandailing Natal, Ramadhan 13/Bambang Saswanda Harahap
Kami Bukan DPO
Jikapun kemarau hari ini masih panjang
Hiruplah embun ketika kalian bangun esok pagi
Mungkin disana ada bau dan wajah yang bayang
Kepada istri kami
Sampaikan genggam tangan dan janji beberapa waktu lalu
Kepada bau rumah dan tungku
Kami baik-baik saja, semoga selalu
Kepada kampung halaman
Jangan lagi tanya seberapa perih dan takut kami
Sebab perih sudah ditanam
Sebab takut sudah ditikam
……………………………………………..
Kelam sedang menari di badan bulan
Menanda hidup lebih besar dari sekadar jalan
Kawan, zaman memaksa kita harus berburu
Dimana tubuh siap menjadi peluru
Kepada mereka para pemuka
Mari! Kita serah darah untuk kebenaran
Bertangan kesadaran. Berkepala kepercayaan
Menembus kabut terus di hari buta
Kata-kata adalah senjata
Mimpi-mimpi adalah kemudi
Aku berkata mempersatu jiwa
Mengimpi kendali mencipta abdi
sambil kucingan dengan aparat
Ayo! kita nikmati waktu yang sekarat
Hingga terkejar fajar
Sebelum nanti dalam dada ada gentar
Medan, Ranah Nata 2010
Bambang Saswanda, Mh Poetra
4.09.2010
dan perahu kertasku
kukayuhkan kepadamu syair perahu dari pelepah katamata dan aku ingin mengalamatkan kengen ini
dijantungmu. semalam saja mumpung hujan tak mengamuk seperti bulan kemarin yang selalu pucat
perahuku perahu kertas yang kutuliskan syair tentang kangen
ini kualamatkan kepadamu dengan mantra;
sampai bilakusampai makakusampai rindukutiba menaruh istilah.
bacalah sayang sesampai airmatamu menjenguk ketibaan yang tergesa
berlayarlah perahuku yah perahuku, lipatlah ombak dan angin menjadi pita rindu diburitan sajakmu
; aku menikam perasaan, hanya untuk bisa mengekalkan rindu kepadamu
bilapun sampai kepadamu malam ini segera kaualamatkan kepada kisah jika yang tiba dan pergi adalah kesemantaraan yang tak sempat kita tuliskan didalam catatan..
kesimpulannya hanyalah cara, dan betapa akhirnya adalah sesuatu yang tak mampu untuk kita maknai lebih dari sekedar kenang yang akan mengganggu malam ini dan malam berikutnya. sampai kita menyadari betapa rencana berhak menentukan apa yang terjadi atasnya. diluar pengaruh kau ataupun aku.
sampailah, biar kata bertegur sapa. tanpa kau ataupun aku yang menemani pertemuan
Medan/maret 2010
Bambang Saswanda Harahap
#kutulis satu (biar ini sampai kepada entah atau..)
berangkat dari kekalahan kita ingin menarik nafas untuk tumbuh mencari jalan pulang
kembali kedalam air susu ibu yang sesungguhnya adalah mata-mata tuhan
melihat kedahagaan menuju surga dalam selang waktu membentang
bersemedi anakmu dalam kulit arinya, menjadikan berpilu-pilu nada panjang menahan.
sepulang dari rantau ia mengupas kulit bawang di bawah jendela rumah
sesekali terdengar matanya berdesakan terkatup merapat membuka membuncah
sesekali meringis bibirnya menyesak terkatup merapat membuka mendesah
sesekali itung lamunya meraung tertakatup merapat membuka menjadi
Gelisah
puasalah nak dari menangis, sampai beduk nasip diketukNya
kata ibu yang mewarna uban di kepala
petang tiba jerang tungku menyala seperti menjilat lapar yang sedang menahan di lidah
senja sampai didih tanak melambung-lambung keujung-ujung menjangkau perut menangkap lambung
akhirnya tiba jua engkau nan gelap
malam bertamu
ia berbuka tangis
nasi belum dikunyah ibupun tiada
Tuhan menghidang kasihNya
puasalah nak dari menangis, sampai beduk nasip diketukNya
medan/19 maret 2010
04.50 Wib
Bambang Saswanda Harahap
# Permaianan satu (biar ini kutulis sampai kepada entah atau..)
lalu di sebuah halaman sekolah bahasa tercecer kertas bekas pembungkus martabak. tertulis sajak mati dari seorang penyair yang entah berapa puluh kali kawin dan bercerai, tapi bukan dengan perempuan, ia kandas dalam katanya setelah rujuk dan pisah lalu rujuk lagi. hingga suatu saat ada perdamaian diantara mereka. saat dimana tubuh dengan rambut panjangnya tergeletak ditikungan jalan, menurut bisik tetangga penyair itu menuju kota mencari tuhan kata-kata, ingin menyerahkan selembar ijab kabul. namun naas jalannya patah dan ia berkeping tepat di bawah sebuah roda mobil besar buatan negara tetangga.
mati itukah kata yang diikuti tanda titik. atau hanya koma. setelah melepaskan diri dari siksa, ejaan mati akan melanjutkan perjalanan kedalam kalimat penutup.
kembali ke padang ilalang. menyaksikan angin dan capung bermain-main diantara tali layang-layang.
kata-kata dan kematian akan saling meninggalkan bekas. seperti tarian ilalang, setelah angin berlalu maka hujan berlabuh, meninggalkan bekas basah yang akan mengering lalu menghinggap lalu para capung berpesta pora melepas dahaga, dan.. semuanya akan seperti itu, tiba dan pergi lalu tiba dan pergi lagi hingga tuhan bosan dengan permainan yang itu-itu saja.
medan/18 feb 2010.
01.35 wib.
bambang saswanda harahap
Tidak ada sajak di atas meja
Apakah cukup uban penanda di kepala
Bukankah ini tipu daya
Agar menyerah kepada malam yang raja
Dimana muda tersimpan wahai pisau cukur dan parfum
Kini cerita gundul dikenang mendesak
Tinggalah Kacamata dan kisah neraca yang mahfum
Punya jalan siasat, hingga pukul berapa musim tersedak
kendaraan tua mengapa tiba tergesa
Sementara jamuan masih menunggu tanggal
Cukupkah perhelatan hanya dengan secangkir kopi dan selembar kafan
Tidakkah menunggu sajak, disempurnakan sebagai kata sambutan
Medan, November/bambang saswanda harahap
Apakah kau perempuan yang aku maksud?
aku masih baik-baik saja, sore nanti aku akan memancing di danau kepunyaan Tuhanku, jika kau ingin menyertaiku, datanglah pukul setengah tiga ke pemakaman di belakang musholla seberang jalan, tanyakan kepada kerumunan yang sedang berdoa, apakah namaku yang mereka sebut
: semoga kau ditempatkan di sisiNya
jangan kau salah sangka dulu, itulah cinta, acap kali membutakan matamu, ketahuilah aku tidak sedang bicara kematian, aku sedang menguji kekhawatiran, mulai besok kau basuh lagi segala apa yang ada di dirimu tentangku, lalu kau jemurlah di depan rumah, mungkin air deterjen terbaik yang kau beli di hypermarket terkenal di kotamu, akan mampu membersihkan ketidakmengertianmu tentangku, dan semoga juga matahari akan bisa membantu mengeringkan segala yang basah yang akan membuat tubuhmu sakit.
mungkin jarum jammu yang tidak mengerti, betapa waktu adalah kesungguhan, aku membenci keterlambatan tapi bukan menghamba kepada kecepatan, turuti semampumu, tak perlu kau beriba-iba dengan kemacetan dan keluangan yang selalu saja mempermainkan jalannya perasaan, tak akan luluh detak jantung karena airmata dan tak akan runtuh penyangga tubuh karena isak yang meledak, sebab kita bukan luka-luka yang tersusun dengan paksa.
ah sebentar, tadi malam telah kutitipkan mawar kepada ibumu, namun itu bukanlah ceritia keromantisan yang akan kita umbar di depan meja makan atau jalanan, aku ingin kau merawatnya dan menjadikan ia bagian dari tamanmu, sebelum kau berjanji tanpa bukti kepadaku, akan menjagaku sampai matiku atau matimu.
tanya kepada bagian tubuhmu, semoga isi kepalamu mampu menjawab, apakah kau perempuan yang kumaksud?
11.23.2009
untuk Jalan yang sedang dibaca
dan sekarang saatnya kita pulang sebelum hutan-hutan dipadamkan malam, kembali kulihat kau berjalan tertatih memanggul peluh, aku tidak terlalu berharap engkau akan akan gembira dengan tempat yang akan kita tuju, sengaja aku merahasiakan padamu.
mungkin esok di layar televisi,
mereka akan membaca kita sebagai sajak indah
tentang sepetak sawah di halaman rumah tidak berjendela
Titipan Jauh dari lelaki dalam perang
membaca resah tulisan kematian
mengomandoi arak-arakan di halaman
maut untuk lelaki yang sedang bersetubuh dengan bendera di negeri jauh
sepi-sepi belantara akan ramai dengan perang
luka-luka semesta akan sembuh dengan ledakan
dan pun telah ia titipkan seorang bayi dalam laras senapan
yang akan menembus dadanya
memberi kabar tentang perjalanan yang tidak akan pernah tuntas
disaksikan ribuan pelangi yang pecah berantakan
mungkin, sayup-sayup angin tak akan pernah terdengar
sebab benteng-benteng telah memperangkap laju suara
mengurung bunyi dalam saku yang tertutup rapat
apa daya sebab darah terlanjur berserakan
ceritakanlah tentang mimpi buruk yang selalu datang dalam setiap adegan
mengkabarkan betapa layaknya kehidupan dipertukarkan dengan kematian
mereka begitu tangguh memberi perintah
: sementara di bawah pasir-pasir telah tertimbun sepasukan nyawa ketakutan
dan akhirnya telah mereka balas titipan jauh
dengan airmata perempuan yang menjenguk nisan atas namanya
medan/bambang saswanda harahap
Bagaimana jika aku bercinta dengan angin
lalu pada jendela rumahmu kami akan mengendap, mengintip rupamu yang dizalimi keliaran perasaan yang salah kau muarakan. ternyata cemburu telah menutupi duniamu, engkau telah lupa, aku tak sekedar bercengkerama dengan rindu, tak sekedar membuat jantungmu berdetak, keberadaan ini serupa jalan terbentang, jika mundur pilihannya hanya kesusahan hati bagiku.
namun bagaimana jika angin terlanjur membawa pergi, nun di mana matamu tak mampu menangkapku, cobalah resapi segala kisah, apakah kan kau dapati aku seperti sedia kala?
merataplah.
biar aku semakin hilang dalam nyatamu.
medan/ bambang saswanda harahap
Sebungkus Bola Memantul
tul..Meman..tul..MEMAN..tul..BOLA..BOLA..BOLA/bola..bola..bola..TUL..meman..TUL..meman..TUL BOLA MEMANTUL/memantul bola/MEMANTUL..BOLA..MEMANTUL/bola..memantul..bola
BOLA..BOLA..MEMANTUL/memantul..bola..bola/memantul..mantul..BOLA.. bola..bola..MEMANTUL..
ah..bola..ah..memantul
***
ini dik, bola yang semula memantul setelah kubungkus menjadi diam, maafkan aku dik, yang tidak mampu memberikanmu sebungkus bola memantul. Mungkin lusa, bola memantul akan terbungkus. Tentunya untukmu dik.
dik ini bola memantul, tapi setelah memantul tak bisa dibungkus, maafkan aku dik, mungkin lusa, bungkus bola memantul akan kutiup seperti pintamu, hingga bola memantul-mantul dalam bungkus yang kutiup. Tentunya untukmu dik.
bungkus bola memantul sudah kutiup dik, namun aku lupa memasukkan bola memantul kedalam bungkus bola memantul, bola memantul masih memantul dik, tapi tidak dalam bungkus bola memantul, mungkin lusa dik, bola memantul akan kumasukkan lagi kedalam bungkus bola memantul. Untukmu tentunya dik.
bola memantul sudah kumasukkan kedalam bungkus bola memantul dik, tapi aku lupa meniup bungkus bola memantul, bungkus bola memantul masih bisa untuk kutiup dik, mungkin lusa, bungkus bola memantul akan kutiup menjadi bungkus bola memantul. Untukmu tentunya dik.
dik, ternyata hujan ini begitu tajam hingga bola memantul tidak lagi memantul dik, dan juga air dari mata begitu deras hingga bungkus bola memantul menjadi lembab dan tercabik, tunggulah dik, bola memantul dan bungkus bola memantul yang baru sudah kupesan, mungkin masih di perjalanan menuju rumah kita, lusa nanti pasti bola memantul dan bungkus bola memantul akan tiba. Untukmu dik, hanya untukmu.
dik, akhirnya perlu kau mengerti bila bola memantul hanyalah kisah, dan bungkus bola memantul adalah irama, yang kunyanyiceritakan padamu menunggu matamu terkatup, setelah itu kau bebas untuk bermimpi apa saja dik, seribu bola memantul dan bungkus bola memantul silahkan kau kunyah, ini hanya cara dik, sama seperti aku mengisahkan padamu tentang menu-menu makanan yang tak kunjung matang dalam ceritaku, hingga laparmu lena menjadi kantuk, begitulah dik, sementara hujan ini masih belum milik kita, jangan kau sedih dengan airmata yang ruah.
Medan, Bambang Saswanda Harahap
11.03.2009
dari kedalaman
*****
satu perjalanan, bumi atau bulan atau selaksa perih pedih, hewan-hewan, gugur bunga, setelah gerimis pecah, gunung-gunung, liang-liang lahat, purcama atau berarti, tenang atau galau, hingga tiba masanya menunggu satu kreta malam, menuju kota-kota, berziarah dalam kelam dalam sunyi, untuk menemukan sesuatu yang berada diluar dirinya, tentang senandung anak-anak pencari sampah, anak-anak penyanyi musim, anak-anak hujan dan badai, demi sejumput keinginan yang berserakan, lalu satu memisahkan diri, pulang kembali, letih terlelap, dalam air dari matanya, yang jatuh pada lelahnya jalanan yang tak henti saling membunuh.
Aku Sedang Melihat Bumi Memiliki Dua Bulan
dari mata-mata dan angin, menuju dadaku yang retak
masihkah lagi kau menegurku bunga
mengerling manja, mematahkan satu-satu jemariku yang ingin menampar mukamu
aku sedang menghindar dari camar yang berkejaran
sebab aku tak ingin patuk bibirmu mengunyah lagi rumpun mataku
yang selalu hilang tenggelam
jika ingin aku menggadai rupamu dalam angan-angan
aku sedang melihat bumi memiliki dua bulan
terpasung antara cahaya-cahaya yang menjerat
sementara di matamu lagi
mimpiku hilang
aku tak sedang lagi
mengulangmu disini
cuih..
: kuwariskan keinginan pada sekotak mimpi. yang tak berpeta dan berjejak.
Doa-doa yang Berkelana
karenaNya
rebah darahku di sini
mengalir
hah.. pajang-pajang rupamu, di makamku, dimana kata mereka kubur bersama
aku ingin Tuhan. mengangkat tabir-tabir di ujung sana, tempat para malaikat, menanak mimpi bumi
karenaNya
tumpah imanku, laksana mengutuk-mengutuk bisu takdir, seperti mencuri, di sela-sela kampung ibadahku
huh.. tikam-tikam setan di dadaku, dada kita, retak entah, prilaku dari hutan-hutan yang memelihara jin
tempat para dosa dan pahala bersembunyi
..........................
Doa II
KarenaNya
aku ingin mati
dalam keadaan tak berkelahi denganMu
hah.. lapangkan kuburku, di mana aku akan ingat "siapa nama Tuhanku"
aku ingin Ia, meletakkan ku pada surgaNya, tempat para wali baik, menyaksikan janjiNya
karenaNya
percayaku tentang masa-masa, untuk mengarahkan kepalaku pada kiblatNya
huh.. bersihkan urat darahku, dari laknat dan murka, aku tak ingin neraka
tempat para dosa dianiaya
Doa III
Tuhan..
Jemput aku
dalam hingar bingar doa padaMu
Hening
segala yang tidak kita temukan
(degup...degup...degup..degup
ha...ha..ha..ha)
persetan mengenal diri
persetan menjadi diri
kita telah asing
dengan degup jantung sendiri
(degup..degup..degup..degup.
ha..ha..ha..ha..ha)
suara maut berkejaran
mengintai setiap diri yang tak saling mengenali
aku, kau dan mereka, sama saja menunggu murka
lalu mari kita dengarkan tangis-tangis yang setiap saat akan pecah
lalu kemana kita membawa pertapaan ini
sementara terjun di atas sana sebentar lagi akan runtuh
menimpa tubuh kita
kasihanilah diri dan hati kita, jantung kita, dan juga engkau yang memandangku membaca puisi
mungkin juga akan rubuh tertimpa
lihat..!!
siapakah manusia itu, kita?
yang selalu berlari seperti anjingkah?
dengan lidah yang terjulur menerkam apa saja, membantai siapa saja, memakan hak siapa lalu mengencingi muka siapa?
(degup..degup..degup..degup
ha..ha..ha..ha..
kita telah menggonggong kesurupan hingga tak mendengar degup jantung yang kecemasan)
dengarkan, dengarkanlah
masih berbicarakah manusia itu
(degup..degup..degup.. degup
ha..ha..ha..ha.. )
dadaku ngilu mencibir bibirku yang membatu
bisu ternyata kita dengan degup dada orang lain disekeliling kita
degup yang lapar, degup yang takut, degup yang berhenti
tak saling lagi menjenguk berucap salam berkasih-kasih
mari kita pulang
menata perjalanan kembali
bukan hanya esok yang selalu kita pancang dengan khawatir
tapi tugu sejarah yang tertinggalkan, rindu untuk diziarahi
8.28.2009
Pituah lelaki rambut wangi pada malam puisi
kita berhujan-hujan kata, menuruti kayuh sepeda ontel lelaki tua berambut wangi
yang sekali tempiasnya kita terjemahkan bersama
diatas teras rumah orang seberang yang asing
menghambalah kita pada kertas-kertas yang telah dilumuri ludah kopi kita
asap-asap rokok yang genit mengepul pun tak tinggal diam
menerka senyum pelepah kelapa, mencerna seringai hampar pantai tengah malam
yang pasirnya putih, seputih warna malam yang sedang kita gubah menjadi hitam
aku sedang menuju langit-langit kataku tanpa ingin mengangkat setapakpun pijak kakiku, katamu dengan desah nafas yang tertukar dengan angin terkirim lautan,
sesekali kalian selipkanlah puisi diantara penat yang hanya akan mengukur umur
: hingar bingar dunia ini kawanku, tak lebih dari protes anjing yang bersuara parau, mengonggong untuk perutnya yang tak terisi, setelah para penguasa mengajari kita lupa menanak nasi dengan permainan harga
aku sedang menuju bumi jiwaku tanpa ingin kepalaku tersuruk busuk didalam tanah yang ada darah penganiayaan akan nasib dan takdir
sesekali kau taburilah dengan puisi, agar perang ini sedikit bernyanyi
: tak seperti cemooh dan tingkah mereka yang berpura-pura, kepada segerombolan orang yang tak mengerti apa itu hukum dan hukuman, mereka hanya bercanda, diantara permaianan azal dan kematian
batukmu semakin parah
sembari merapikan pecimu yang hitamnya mulai berubah
ah sudahlah katamu terhentak
: rapikan buku kalian, penuhi bumi ini dengan puisi, sebagai penyeimbang kebohongan. bukankah kita ingin mati dalam keadaan tidak mengeluh?
ditiga masa yang menandakan kita masih dalam perjalanan adikku..!!
aku melihat tulisan tangan ayahku
: tak ada kebagaian yang lebih bahagia selain melihat kebahagiaan kalian, kalian yang memiliki kehidupanku
di bola mata ibu
aku mengapung
: oleh genang air yang terbendung.
di nisan makam ayahku
ada nyala yang membakar
: tidak sekedar rindu
untuk adik-adikku
: jangan ceritakan pada siapapun tentang dinding rumah kita yang lapuk, sebelum aku mati..!!
Pamit
hingga sepatahpun tiada tersisa
tentang pusara
tentang kamboja
tentang puisi
terkubur satu
kabar telah sampai
mungkin aku pamit mencumbumu
kata-kata yang setangah musim menduri dan membangunkanku
selamat tinggal
kutitip puisiku, pada angin, pada cahaya, pada malam, pada kehidupan yang masih menghidupinya tanpa penjaga. jikapun lapuk, biarkan ilalang dan rerumputan yang mamakamkan..!!
7.10.2009
Melika
sementara kau barat cahaya tempat kisah tertinggal benam
dulu padamu aku pernah menetaskan anak-anak rahimku yang seluruhnya rindu
berharap setaman kita menganyam rasa, bercinta menjanjikan bunga dan kupukupu tetap bercumbu
setelah sepenggal demi sepenggal masa itu kuturuti sepi
tanpa janji meninggalkan aku sendiri di kota ini dengan rimbun gundah yang tak mampu kusiangi sendiri
tiba-tiba saja kau hadir dalam sebentuk senar tak berirama, hanya senar, menancap di pangkal leherku, menembus ke jantung, lalu melilit dihati dan meluruskan ususku seperti jalan pergimu yang tak mampu kuhadang
seketika...
seketika kau penggal lamunku, irisannya kau tuang dalam secawan bola mata yang terbelah, yang kau jadikan tetabuhan melebihi kecepatan rasa sayang itu sendiri, menjadi dentum malapetaka, melebihi malapetakanya cinta yang sedang terbaring koma.
dan pada...
pada enyah mentari, pada ungsi gugus cahaya, pada kelam, pada segala hitam, akan kudukakan perlakuanmu yang demikian melambungkanku sekejap, seakan-akan kau sedang berdiri dengan jubah putih memagang tongkat yang ujungnya berbintang, lalu kau susun sedihmu, kau hujani aku dengan airmatamu hingga aku mengigil perih
melika
sudahlah bawa bahagiamu lalu sisihkan sedihku
sejak lingkar cincin cintamu terikat, usah kau gaduh aku dengan puisimu
keatas ranjang pengantinmu esok, katakan aku tak mengapa dan tak siapa
takkan ada putar ulang masa
sebab segalanya mulai teduh tanpamu
Hari haru
induk dari kepedihan,menyerat pedih menjadi masing-masing pusara
tingkah perlakuan apa yang berdiam dalam mimpi-mimpi malam ini
terpeluk sekali pagi, entah mana derak yang patah, lalu derai pula airmata
ngilu padamu ini tak pernah kami sampaikan oh nan padam terkenang
yang kami tahu titik-titik pada bilah pedang matahari ini
adalah mata yang beradu dengan mata kami
silau mana yang akan mengedip, lalu nyawa mana kan berpulang
tak terjawab semestinya hari ini hari apa
tak terkira semestinya berapa kematian sudah yang kami tangisi
yang ada esok, lusa dan kapanpun derita itu singgah
perlakukan dengan santun, laksana kita adalah ibu dari mahabijaksananya matahati
sekali waktu dimana nanti peran berganti
akan kami titip luka, pedih dan airmata ini pada Tuhan
akan kami ceritakan kepada anak cucu kami bahwa kehidupan ini begitu menyenangkan
turunlah.. jejakkan kakimu pada bekas jejak kaki kami yang darahnya mengering sepi
Tadarus kesunyian
bayang-banyang pun entah, berlari dari satu padang kepadang lainnya
membaca apa saja yang lekat dalam sadar
mengilhami alam lain yang ada di luar tubuh manusia
satu kalimah itu begitu sahaja
membangunkan detak jantung yang bernyanyi bisu
sujud semesta pada satu yang ada dan tiada
sunnah dan fardhu seirama berlaku satu
ya Tuhanku
tadarus kesunyianmu ini begitu perkasa mempersatukan langit-langitmu besarta megacahaya
hitam dimataku terang bagiMu
alam yang bergandengan, akur menuju satu sajadah sujud yang searah
dengung dan ngiang meremuk redamkan tulang
dari tak bersuara lalu menggema hadir dalam barisan ibadah
dentum mendentum seluruh jagad raya yang terbentang
dalam sunyi, dzikir sahut bersambut padaMu berserah
Kutunggu kau di kilometer debar
seribu kilometer debar
membahas lekuk rindu
yang semakin memar
adakah kau rasakan angin itu menguntit
segala tapak dan bau kita
mengitari curiga
kemana rasa kan dibawa
kemas senyummu
susun rapi seperti semula
mari kita tipu semesta
dengan lari sejadi-jadinya
6.18.2009
Pada satu masa, aku bersama usia
ada rintih dari asbak-asbak masaku yang tidak lagi bundar tidak lagi satu
pat kulipat timbun ubanku yang rekah berpecah belah
berkamuflase menjadi sebatang rapuh
..................
anak-anak itu berlari bersama derik jangkrik
memecah lumpur yang menggumpal dalam celah mata paku
ini magrib kata, ini magrib masa dan ini magribku
sementara aku mengeruh, dalam renung tercekik
mana bagian tubuh ini yang tak berTuhan
biar kutanggalkan kuberikan kepada anjing
Dalam kolam mata lelaki itu bulan menggenang
beritahu aku bulan yang kau genggam
teruntuk perempuan tak bernama
yang menyimpankan malam
turunlah...lalu caci maki kerinduan ini
hinggapi sesak dada yang sepi
: tancapkan sebilah lihat, dalam kolam mata lelaki yang darahnya itu mulai memutih
Tentang madu, kumbang dan bunga yang hanyut
Dalam dendam luka bibir bunga, ditingkah gemulai kepak sayapsayap yang teralun rindu, aku kelu, merafal mantra birahi yang singkap. Oh yang setaman, didihkan wangimu, sampai kita saling memuji digemetar waktu berikutnya, hingga aku khidmat mengeja bahwa yang ditunduk jemari daun itu adalah bungaku yang hijrah dimusim semi, lamunku sungguh..
2
Dan pun kini kau tiba, lekas beringsut dari deru-deru kota pagi ini, beserta geletar kelopak sayapmu, menindih aku berpeluh resah, mengajak maduku menari mendebur awan, lalu kau kan ku hujani kau dengan derasnya laksana batubatu yang terlumuti. atau lebih baik Kutunggu saja kau dipintu taman, mengarak barisan gairahmu. Tapi.... akh, sebabmusabab tiba-tiba kubenci.semula kutenang, lalu maduku asin, hanyut kelaut, kusut, lebih baik senggamahi aku di pantai mana kan terdampar.
3
Ini tipu detik yang menelikung tepitepi kelopakku, mengandung ribuan lelucon tentang asmara dan pertemuan, dalam kelaskelas angin di bibir semenanjung ini, kau dendangkan saja lonceng seribu tangisan pada hanyutku, niscaya akan lumpuh debur laut ini, menepikan ku segera. Tentang madu ini, sungguh, masih terjaga atas muslihat benci yang berdentum dalam bibir ajalku. Lebih untukmu, kusisakan manisan ratu, setelah ini kau setebuhi, jangan kau bermimpi menziarahi kuburku sepatahpun.
: ingat, gugurku saja tak bertabur kemboja.
aku dengar ditelaga itu suara perang, disaksikan tugu pahlawan yang dadanya berdarah
pelurupeluru timah dari bibir telaga
berlabuh di dada
lalu kaku jadi batu jadi tugu
ringih perdu musim hujan
menumpang lalu angin ke daratan
simak spasi aur yang saling bergesak
menyiratkan siulsiul sejuta nyanyian kematian
diantara semak ilalang hadir bunga-bunga
berbau darah dan mesiu
tercium sungguh, ditingkah berisiknya suara dentuman dan senapan
aku beranjak, meninggalkan telaga tragedi sambil menahan bulu kuduk yang semakin nakal
Doa kolam ikan
tak ada bagian rezeki yang kudapatkan pagi ini
jangan harap akan ada gengam telapak tangan terbuka untukmu
menyelamlah, kais kebawah sana apakah bagian rezekiku yang tenggelam disana
lihat..!
ha..ha.. matanya melawan marah
melemparkan lumut, kotoran dan seluruh airnya yang tak bisa lagi tempat untukku bercermin
sekedar melihat apakah di wajahku ini masih ada lelah setelah semalaman berperang hujan
ikan buruk dalam kolam tergenang kumuh
jangan tatap aku, arahkan bola matamu pada pencipta
pintalah padaNya dengan ibadah dan ibamu
semoga saja doamu lebih laju, mendahului doaku yang sudah kehabisan akal
6.04.2009
Kusut Api
memperhatikan anakanak sungai
yang di dalamnya kita temukan kusut api
tentang peran lakon dan puisi
mengapa sedih itu menjadi air?
katamu menikam lekat mataku
sungguhkah kita dari tanah yang terpijak ini
lalu berlari bermain bersengketa berupa-rupa diatasnya
.........
kita tidak sepenuhnya tanah juga air
yang kuterima dari ibu semusim lalu
kita menari kawan
merunut kisah kusut api yang tenggelam dalam arus sungai
jika masanya tiba purnama terbelah
kutunggu kau disini bisikku di dinding telingamu
jangan kecoh lagi aku
dengan pertanyanmu tentang duka lara
: airmata biarlah airmata, huh.
Untuk Temanku: Mh Poetra
selamat jalan sob, hati-hati, jaga dirimu baik2..
semoga sukses,
nanti kita tambang lagi "kusut api"
Usai
aku tak mampu lagi menerka laju angin di matamu
aku tak mampu lagi menghitung lengang di hatimu
semburat senyum kusut, selalu menjerat temali jantungku hingga tak berdebar lagi saat menciummu
Kau giling aku wahai kekasih
sampai aku pecah dan terasing
kau mungkin tahu, jazirah mana lagi yang tak kusinggah
dan ini, sungguh menelantarkanku menjadi asing dan mengasing
Sekali pagi bersama deru angin
kau jenguk aku dalam keresahan
dengan mendung aku kau tegur
lalu kau cubit kau pukul kau tindih kau pijak kau matikan kau tamatkan kau bisikkan
: mungkin Tuhan kita berbeda, sehingga cinta kita tidak pernah sama sayang
Jibaku
telan pahit lalu berjibaku, mambaca desisdesis dari dua katup belah bibir
auman ditutup putus menderu jua menapak jua menggadai jua
didih sak wasangka dalam api jerang darah debu marah kayu suak tabir
: gumul beradu maju, benar beradu padu, Tuhan Beradu Satu, kita lumut jadi batu
Asap tungku emak
Mukaddimah
semoga jangan
sajaksajak yang lahir dibumiNya ini
menjadi berhala baru dalam jalan lain penyembahan
penyair bukan jibril
yang Turun dengan jubah cahaya
lalu singgah ditengah manusia
membersihkan hati dengan zamzam hingga kudus,
Tuhan kami
sajak kami biasa
tak firman dan tak wahyu
tak ditulis dalam surga
tak bararti apaapa dihadapMu yang maha Indah
: ampunkan kami yang sempat terbawa
"Puting Susu"
tidak usah takut kau mencumbu
mari nestapa ini akan kita susun bersama
menjadi sayapsayap kedamaian menuju bulan
dan...
: PUncak marah atas TINGkahmu yang menyuSUn Kecewa, kini SUdahlah kutinggalkan lupa
5.16.2009
JUDUL
tentu bukan aku atau kau yang menjadi pagi
debur mendentum dada kelam
sunyi menggelar sengketa hati
dan kita asing, terpaku meratap akan tanya
sampaikah jiwa pada puncak peretas mimpi?
dimana sumpah dan peluh tlah terkuras dalam
malam membungkus kita kawan,
di batas sadar dan resah,
segala berlalu!
dalam sepucuk sajak cinta berbungkus debu
kau selipkan ragu yang membaru,
tanyamu,
dalam keakuan yang tak putus menjunjung sedih.
kukatakan saja dari sini aku akan lebih hidup
cukup hanya dengan mengenangmu,
; sebagai nyala yang tak padam
dingin semakin merasuk, gigil membuncah sunyi
malam beku! Selimut sajak mempertebal rasa,
kita masih terjaga
* Apresiasi untuk kawan
MH Poetra
Mari kita yakini.. kita adalah perang dalam perang.. dan kekuatan itu adalah diri kita sendiri
5.05.2009
Kami adalah Bagian Zaman yang belum berhenti mengerang
punah melamunkan benak yang bersidekap diam
habis masa tertinggal dalam ketinggian yang menjadi puncak orgasme yang terlupakan. ku pun tahu, yang kita pikirkan adalah zaman yang kita diami adalah kesunyian tanpa batas, yang berlalu berlalulah,
setitik yang kau pajang menjadikan pancuran penghabis ruh dibadan
sementara kami yang apung kian tenggelam, sekalipun tidak digenangi berjenis apapun selain mantra-manrta yang dibacakan berbisik.
biar gelora dan amuk kami tuai atas perselingkuhanmu
sebab kami adalah zaman dari kesunyian yang kau onanikan
tubuh yang gemetar adalah pertanda setia atas murkamu
yang sampai saat ini belum berhenti mengerang
4.30.2009
Bukan Jejak Telapak Kakimu
pada setapak jejak kakimu
tapi aku lebih pada
bentang seluas jilatan ombak yang belum sempat kau pijak
aku bukan lembaran yang sudah kau sajakkan
hingga aku menjadi kesimpulan yang ada pada genggamanmu
tapi aku adalah buah senggama perenunganku
dari segala yang mengendalikan aku, bukan kamu
aku akan berlalu kemana saja inginku
tak usah kau membuka pintu rumahmu untukku
dimana aku terkapar disitu aku mati
dalam caraku yang selamanya tak pernah memenuhi caramu
4.27.2009
Semedi Kata
4.23.2009
Tuhan... Beri Aku Jeda Untuk Berperang
sementara tetabuhan kian gumuruh, keapaadaan senantiasa bisu, terseok disandung oh disandung, yang tak terlawan menghujam bumi mencaci maki.
pelita redup kianlah redup disambar angin nan salah jalan
demikianlah kisah hingga yang terpendam makin membenam
kuputus-putus cercah cahaya dengan telapak jari
maksud hati yang menghitam, menuntut balas atas doa yang tiada tersempatkan
Tuhan Oh Tuhan yang bukan perempuan
apa daya mengirim pinta yang haruslah sampai dilangitMu segera
hamba manusia seperti manusia
bagai pasang menggenang, pun jua bagai surut nan menyurut
duhai takdir duhai nasib mari berperang
amuk yang amuk sungguh makin tiada tertahan
sebelum tega tikam-menikam
tunggu sejenak aku ingin beristihqfar
4.20.2009
Tak kuberi Judul
tapi aku mulai lalai menidurkanmu
hinga sepagi ini kau masih setia mengetuk biduk kayuku yang dipeluk lumut
berlomba dengan dengus nafasku menghantar ransum cintamu
umpan sudah kutabur,kail sudah menyelam
biarkan kita saling menunggu
hingga bau dan rupamu menjilat-jilat kayuh perahu yang menuju
tunggu aku yang ingin merajai seluruh bahagiamu, di tempat biasa kita bersetubuh tatapan
pun segulung jala dan ombak yang kukawinkan
bermain dilautan, bercinta menghadap awan, berharap di langit bersiteguh dalam karang yang kesemuanya demi mu yang sedang menjalin seprai tempat tidur untuk kita nanti malam
dinda, nanti setelah sampai, kau dekap aku seerat-eratnya dekapanmu
dalam bau tubuh ini akan ada pengertian yang akan meluluhkanmu untuk segera berserah rasa
4.18.2009
Ketika Aku Berkisah Kita
aku bukan duniamu
bukan juga harimu
aku hanya bagian dari apa yang kau rasakan
jangan kau jadikan aku yang belum tentu setia ini
menjadi apa dari adamu sepenuhnya
sebab jodoh belum dibocorkan Tuhan
Nikah Embun Pagi
yang kutatap sedemikian telanjang
berlari kecil gerigi kerikil
menimpa ubun-ubun pagi
senyap hening kubahasakan cinta diam-diam
"huh..aku terima nikahnya embun dan pagi
dengan mahar segenap yang tak kua miliki, .. TUNAI"
4.16.2009
Tafsir Cinta Tak Terterka
menerka cinta yang dikandung
menebak rindu yang terpasung
sampai menggigit bibir pun
tak mampu kujumlahkan
cinta pergilah berlari dibawah hujan
basahkan seluruhnya
mungkin
hanya dengan ini aku mengerti
cinta disiram hujan menjadi basah
Anjungan Perahu Bercadik
kutulis dikau pada bau dan rembulan
menjadi malam dan pelepah terlama
menghadang langit turunkan segera
duhai gelisah nian menyengat
terpecah jua kan kiranya
memancang sauh menjulur mata
tentang tanah di lenguh camar
bersajak anjungan perahu bercadik
pulang senja menjemput bekal
dirimukah yang sedang menyemai
menabur tumbuh menanam tuai
berkisah riak di bawah awan
membaca mantera menahan dahaga
Ditepian Ruh yang Hilang
kami dan segenap yang ada pada adalah kesementaraan yang tiada terbantah
mengayuh dan menjaring kecintaanMU dalam sela-sela keterjalan gemuruh iblis mahasesat
melayari semilir, pun jua badai yang menjadi keniscayaan bentang kehidupan
dan akan kepadaMu lah kami kembali
hingga yang tertinggal adalah kesempatan
dari kisah-kisah persaksian
sebab ini akan di hitung oleh timbangan mahakeadilan
dan turutlah padaMu
yang di panggil dini hari
Ia adalah milikMu sepenuhnya
sementara kami berjalan menuju terdahulu yang telah sampai
ditepi Ruh yang hilang
adalah kebenaranMu yang datang
sungguh..
kerelaan adalah kepantasan menjumpai hikmahMu Tuhan
Ia yang Telah Menjadi "Jalan"
tanggul tua merebah di dini hari membawa aroma murka
membentang ia yang nyata menjadi tragedi dengan ruah setinggi teriakan menyembunyi azal
tiada bisa... peran-peran itu hilang sekejap menjadi diri-diri yang tiada
apapun dia dari kejauhan sudah terlihat menjadi masa yang tertinggal diam
sajak-sajak terbit kehabisan bahasa sebab kata yang selalu berduka
doa dan lantunan ampunan pertaubatan menjadi pengisi penutup kisah
sungguh demikianlah yang tergerak dari mulut ahli musibah
perenungan itu tampak jelas
dimana Tuhan membagikan teguran dalam air yang semula tenang
situ gintung
telah menjadi "jalan"
(dimuat di Tabloid Mahasiswa Suara USU edisi 69/XIV/April 2009)
4.14.2009
3.30.2009
Jalan Lain
kuyup bersama angsa pulang ke tepian
ikut terbawa permainan hujan
yang rintik di daun mata bersilauan
deras ia menindih mati kaki
lalu menghayut fikir yang terbentur jalan
oh.. aku yang merenangi nasib
kehilangan cara untuk bertahan
sementara aku berlabuh di lumpur
teruskanlah doa memapah harap
mungkin aku memilih jalan
dalam daratan yang tersisa
Teman Kata
memfilsafatkanmu, mensejarahkanmu, membahasakanmu
lalu menghidupkanmu dalam kata-kata
hingga kau bisa bercerita banyak tentang hidup
kau teman kata yang hilang setengah musim
setelah dingin sendiri di gigit malam
hampir kering di tunduk terang
aku percaya dahagamu kan kosong sekalipun ku tinggalkan kau di padang kerontang
dengan nyiur yang selalu melambaikan pesan ku dalam separuh waktu
menyempatkan padamu sapa bersalam rindu
lalu menjejakkan kisah yang jua kan ku lamunkan padamu
dipertemuan februari hujan
mari kawan kita membaca sajak dengan khidmat
Tiada Kau Yang Kan Ada
sampai terkatung aku entah...
memfirasatkan mu selalu dalam bentuk kemauan keindahan milikku
hingga senja buta itu menegur, aku adalah ketidakmungkinan untuk mu
kembalilah kau surut ke pantai
tunggulah ombak menjilat angan
angin adalah pembawa
dari segala kekosongan rasa
semakin aku menyadarkan itu
aku semakin dihempas entah
di kota mana ia tidak ku temui
disanalah aku terdampar selalu
ini aku mengurung kisah
melingkar cerita
menimbun keinginan
mematikan langkah yang akan sia-sia
sebab hati itu tiadalah paksa
katamu di sebuah pesan singkat dini hari.
3.28.2009
Gemuruh Subuh
mati kerandakan sesejuknya pejam
bola bening lihat tertaut diludah deru pagi menjilat terang benderang
aku yang hidup, lalai manja kumandang subuhMu Tuhan
3.24.2009
Doa Gerimis
membawa kepada sepetak ruang tempat bertarung nestapa
oh pada temaram ku dukakan gelisah
gerimis beringas menggulungku pada ibu yang ku harap tidak terluka
aku mencarimu di kepingan manasaja tempatku berkisah
menyandarkan segenap, seluruh. segala, sedemikian rupa keperihan
ini malam selasa basah
Tuhan menegurku sekiranya
ini malam memberi sebab
untuk pagi ku yang akan resah
ini malam aku bermunajat kepadaYang Rahram ya Rahim yang Esa
sujud ku dalam padam keingatan yang hanya nyala padaMU
Aku bermohon untuk telapak kaki yang berisi surgaku
andai cobaan itu kau hadiahkan sebagai bentuk kasihMu
jangan akhiri keputusanMu
sempatkan aku untuk bersama memberinya bahagia
Pagelaran
berubah wudud
bertukar rupa
seperti manusia mencontreng manusia menjadi Tuhan
3.23.2009
3.22.2009
Kalimat Kusut
Aku menantang
mencariMu di langit yang tak pernah menjatuhkanku uang seperti hujan
"nikmat mana lagi yang kau dustakan"
kalimat kusutku
mundur menyurut
betapa meruginya aku jika di paraghrap ini Kau cabut nyawaku Tuhan
sebelum aku sempat menulis kesadaranku
ampunkan aku Tuhan
memanusiakanMu dalam kekalutanku
12.26.2008
Wanita Bermata Biru
aku masih mengenang baumu yang kususun rapat
menjadi setumpuk taman
kan kau dengar decak kumbang yang sujud pada setangkai mawar memberi isyarat
untuk mata birumu yang berkedip malu
12.16.2008
Masa Kamboja baru kutabur
dimana aku harus keluar masuk rahim lara
oh kau yang sedang menunggu waktu
sebegini nyatakah cerita ini menjadi kisah yang teruntai
jangan kau lupa katamu di dalam sesak-sesak nafasmu
terakhir ini aku membulir air mata untukmu
kutinggalkan kau sebab senjaku tiba
hitung butir pasir itu, lalu gumul ia menjadi jejak.setelah itu kau taburi kamboja dikuburku
yah begitulah
dimana yang tertinggal adalah aku
mengusung bayangmu selalu
hingga beribu musim berlalu
12.15.2008
Orang-Orang Lapar
pagi buta dibentak nasib
siang diperdaya nasib
malam dirajam nasib
lalim benarkah kau yang menganiaya ku yang belum makan
*Revisi*
12.14.2008
12.09.2008
Hingga Setan pun Terharu?
dari menunduk
hingga tersedu
"apa yang ditulis penyair hingga setan pun terharu?"
12.07.2008
DirumahMu air mataku derai
berlama-lama di gaduh penggoda dari bara api nerakaMu
semakin tenggelam ku sujudkan diri dalam rumahMu
Mekah yang berselubung takbir membuncah air mata
Mimpi
melabuhkan segenggam asa dalam bukit-bukit menjulang ke awan
menyunting wanita-wanita yang tak pernah di caci terik
hingga membayang udara dalam tarikan nafas adalah surga
teruslah menjejak pasir-pasir dalam angkasa lamunan
membumbung memuncak menanggalkan beban di pundak
mengayuh setingi-tingginya kesenangan
meramu mimpi di kutub bumi dini hari
Duhai Nestapa
perihnya sudahlah senja
bak peniti luka mencucuk usia
renta ia dirundung air mata
duhai nestapa
tanggalkan ia yang diujung sana
gemetar tegak lapuk dicerca genangan siksa
merenda duka merajut derita
duhai nestapa
tiada usai jua padam kobaran dera
dari satu darah kedarah matanya
menukiklah tajam sembilu dipangkal lehernya
Sumbang
cinta yang berderak-derak di pangkalan telinga
mengingang laju kumuh
bersenggama hina kau bertanya pada sengsara
sepasang sekoci berlumur lumut
membatu bersama karang
daripada kau terjungkal ke lautan
mari kita eja perhelatan dengan semestinya
terkutuklah
cinta ditambah cinta menjadi sampah
terciumi sengatan membesarkan arwah di dalam kubur
sungguh..kuncilah hati sebelum kau terbawa digiling kunyah
peradaban kau gilir dengan martabat sumbang
kau gulai mentah dalam belanga kubangan air mata
mendidih jantung kesumat menatap mata tersumpal bara
jangan cinta kau ucap perlahan pada yang lapar di pesisir hujan
pejabat desa bersukutu dengan setan dengan tengkulak
merajai iblis dalam sumpah serapah memutar masa
duh..sampai setega ini cinta mereka simpan pinjamkan
terkadang gadai sudah dalam meja perjamuan bersama pimpinan setan
Badai anak nelayan
menitikan racun dalam gamang
menyibakan luka-luka seperti terbawa ombak
kepedihan yang teramat menganiaya sudah singgah dalam senja
ada dua bocah setengah berbaju
berbaris di jilat badai
menelentang menantang hujan
sementara di balik punggung-punggung mata kail menancap pongah
anak nelayan dalam persaksian
menghitung setiap derak nyiur yang mengerlap merantai kunang-kunang
melambung setinggi bintang-bintang kejora
menyapu langit dengan ijuk luka dan lidi nestapa
12.03.2008
Maaf…Kau Terlambat Datang Jandaku
Tiada mungkin bisa ku sambut kau berlutut
sembari memakai senyum lama
menyuguhkan senja penyambutan dengan pertunjukan maha bahagia
sadarkah apa yang kau lakukan akan menjadi luka yang berulang
sebab lembaran cerita yang kususun sampai sedih lembab sudah berkecamuk tempias
terlalu larut aku menantimu dibalik tirai yang tak pernah kau singkap
sampai aku hampa menghamba pada kesunyian
menjatuhkan tetes belulang yang lebur
menganaktirikan kebahagian yang seharusnya kubesarkan
sementara kembali itu kutunggu dengan berkecamuk ragu
hingga terompet penanda babak kita telah usai menggema lantang
kau berakhir,tanpa ada harapan sebab telah kumulai episode baru dengan peran sama
ijab kabul telah yakin kuucap kembali dengan penyerahan menyeluruh
Untuk Istri Baruku, Sarina
Agar aku bisa luput dari bayang-bayang lama
Cemburu saja sebab dengan itu aku merasa dicintai
Tak perlu kau beradu kata, asam garam cinta dan tipu daya sudah begitu akrab denganku
Sarina istri baruku yang ku nikahi tadi pagi
Aku pemain lama yang sudah mulai lupa dengan lapangan yang akan kumainkan
sejak gawang dibawa pergi bersama mantan istriku 6 tahun lalu
dan selama itu aku tidak turun lapangan
Sarina maafkan aku
Diam-diam aku memetik mawar yang pernah ditanam mantan istriku dibelakang rumah
Itulah yang kusematkan ditelingamu senja ini
Mungkin inilah serah terima cinta menurutku
Mari kita mulai babak ini
Semoga malam ini rahimmu meramu janin laki-laki
Aku berharap akan ada yang menemanimu setelah aku mati
Menjaga saat godaan suami baru mengganggumu
Segelas jamu kuat kutelan habis
Lampu mati
Aku memulai kewajiban
Setelah itu tak mampu kuceritakan
Saat terbangun sekujur tubuhku keletihan
Pledoi Puisi keduapuluh
tanpa kompromi mengaduk-aduk hati
membuat cita rasa
yang akhirnya asin, seperti air mata
berbeda jauh
antara tadi malam dan siang ini
tetapi tetap hadir menghakimi
aku yang menjadi tersangka dalam pengadilan hidup
puisi kedua puluh yang aku tulis siang ini
menjadi pledoi yang kubaca diam-diam
maafkan
aku menyesal..
Tanpa Judul hanya kerinduan
di lahirkan sama dengan kelahiran ayahku
tentu berbeda tahun
ah untuk apa ini ku sebutkan
aku dahaga
dalam kerinduan
belaian ayahku
mungkin itu yang ingin kusampaikan
Perjanjian Siang Ini
Menutup diri
Mengurung hati
Mengunci akal
Dalam perenungan panjang melelahkan
Sebuah kesimpulan
“berjanjilah… untuk tidak bolos kuliah lagi”