11.23.2009
untuk Jalan yang sedang dibaca
dan sekarang saatnya kita pulang sebelum hutan-hutan dipadamkan malam, kembali kulihat kau berjalan tertatih memanggul peluh, aku tidak terlalu berharap engkau akan akan gembira dengan tempat yang akan kita tuju, sengaja aku merahasiakan padamu.
mungkin esok di layar televisi,
mereka akan membaca kita sebagai sajak indah
tentang sepetak sawah di halaman rumah tidak berjendela
Titipan Jauh dari lelaki dalam perang
membaca resah tulisan kematian
mengomandoi arak-arakan di halaman
maut untuk lelaki yang sedang bersetubuh dengan bendera di negeri jauh
sepi-sepi belantara akan ramai dengan perang
luka-luka semesta akan sembuh dengan ledakan
dan pun telah ia titipkan seorang bayi dalam laras senapan
yang akan menembus dadanya
memberi kabar tentang perjalanan yang tidak akan pernah tuntas
disaksikan ribuan pelangi yang pecah berantakan
mungkin, sayup-sayup angin tak akan pernah terdengar
sebab benteng-benteng telah memperangkap laju suara
mengurung bunyi dalam saku yang tertutup rapat
apa daya sebab darah terlanjur berserakan
ceritakanlah tentang mimpi buruk yang selalu datang dalam setiap adegan
mengkabarkan betapa layaknya kehidupan dipertukarkan dengan kematian
mereka begitu tangguh memberi perintah
: sementara di bawah pasir-pasir telah tertimbun sepasukan nyawa ketakutan
dan akhirnya telah mereka balas titipan jauh
dengan airmata perempuan yang menjenguk nisan atas namanya
medan/bambang saswanda harahap
Bagaimana jika aku bercinta dengan angin
lalu pada jendela rumahmu kami akan mengendap, mengintip rupamu yang dizalimi keliaran perasaan yang salah kau muarakan. ternyata cemburu telah menutupi duniamu, engkau telah lupa, aku tak sekedar bercengkerama dengan rindu, tak sekedar membuat jantungmu berdetak, keberadaan ini serupa jalan terbentang, jika mundur pilihannya hanya kesusahan hati bagiku.
namun bagaimana jika angin terlanjur membawa pergi, nun di mana matamu tak mampu menangkapku, cobalah resapi segala kisah, apakah kan kau dapati aku seperti sedia kala?
merataplah.
biar aku semakin hilang dalam nyatamu.
medan/ bambang saswanda harahap
Sebungkus Bola Memantul
tul..Meman..tul..MEMAN..tul..BOLA..BOLA..BOLA/bola..bola..bola..TUL..meman..TUL..meman..TUL BOLA MEMANTUL/memantul bola/MEMANTUL..BOLA..MEMANTUL/bola..memantul..bola
BOLA..BOLA..MEMANTUL/memantul..bola..bola/memantul..mantul..BOLA.. bola..bola..MEMANTUL..
ah..bola..ah..memantul
***
ini dik, bola yang semula memantul setelah kubungkus menjadi diam, maafkan aku dik, yang tidak mampu memberikanmu sebungkus bola memantul. Mungkin lusa, bola memantul akan terbungkus. Tentunya untukmu dik.
dik ini bola memantul, tapi setelah memantul tak bisa dibungkus, maafkan aku dik, mungkin lusa, bungkus bola memantul akan kutiup seperti pintamu, hingga bola memantul-mantul dalam bungkus yang kutiup. Tentunya untukmu dik.
bungkus bola memantul sudah kutiup dik, namun aku lupa memasukkan bola memantul kedalam bungkus bola memantul, bola memantul masih memantul dik, tapi tidak dalam bungkus bola memantul, mungkin lusa dik, bola memantul akan kumasukkan lagi kedalam bungkus bola memantul. Untukmu tentunya dik.
bola memantul sudah kumasukkan kedalam bungkus bola memantul dik, tapi aku lupa meniup bungkus bola memantul, bungkus bola memantul masih bisa untuk kutiup dik, mungkin lusa, bungkus bola memantul akan kutiup menjadi bungkus bola memantul. Untukmu tentunya dik.
dik, ternyata hujan ini begitu tajam hingga bola memantul tidak lagi memantul dik, dan juga air dari mata begitu deras hingga bungkus bola memantul menjadi lembab dan tercabik, tunggulah dik, bola memantul dan bungkus bola memantul yang baru sudah kupesan, mungkin masih di perjalanan menuju rumah kita, lusa nanti pasti bola memantul dan bungkus bola memantul akan tiba. Untukmu dik, hanya untukmu.
dik, akhirnya perlu kau mengerti bila bola memantul hanyalah kisah, dan bungkus bola memantul adalah irama, yang kunyanyiceritakan padamu menunggu matamu terkatup, setelah itu kau bebas untuk bermimpi apa saja dik, seribu bola memantul dan bungkus bola memantul silahkan kau kunyah, ini hanya cara dik, sama seperti aku mengisahkan padamu tentang menu-menu makanan yang tak kunjung matang dalam ceritaku, hingga laparmu lena menjadi kantuk, begitulah dik, sementara hujan ini masih belum milik kita, jangan kau sedih dengan airmata yang ruah.
Medan, Bambang Saswanda Harahap
11.03.2009
dari kedalaman
*****
satu perjalanan, bumi atau bulan atau selaksa perih pedih, hewan-hewan, gugur bunga, setelah gerimis pecah, gunung-gunung, liang-liang lahat, purcama atau berarti, tenang atau galau, hingga tiba masanya menunggu satu kreta malam, menuju kota-kota, berziarah dalam kelam dalam sunyi, untuk menemukan sesuatu yang berada diluar dirinya, tentang senandung anak-anak pencari sampah, anak-anak penyanyi musim, anak-anak hujan dan badai, demi sejumput keinginan yang berserakan, lalu satu memisahkan diri, pulang kembali, letih terlelap, dalam air dari matanya, yang jatuh pada lelahnya jalanan yang tak henti saling membunuh.
Aku Sedang Melihat Bumi Memiliki Dua Bulan
dari mata-mata dan angin, menuju dadaku yang retak
masihkah lagi kau menegurku bunga
mengerling manja, mematahkan satu-satu jemariku yang ingin menampar mukamu
aku sedang menghindar dari camar yang berkejaran
sebab aku tak ingin patuk bibirmu mengunyah lagi rumpun mataku
yang selalu hilang tenggelam
jika ingin aku menggadai rupamu dalam angan-angan
aku sedang melihat bumi memiliki dua bulan
terpasung antara cahaya-cahaya yang menjerat
sementara di matamu lagi
mimpiku hilang
aku tak sedang lagi
mengulangmu disini
cuih..
: kuwariskan keinginan pada sekotak mimpi. yang tak berpeta dan berjejak.
Doa-doa yang Berkelana
karenaNya
rebah darahku di sini
mengalir
hah.. pajang-pajang rupamu, di makamku, dimana kata mereka kubur bersama
aku ingin Tuhan. mengangkat tabir-tabir di ujung sana, tempat para malaikat, menanak mimpi bumi
karenaNya
tumpah imanku, laksana mengutuk-mengutuk bisu takdir, seperti mencuri, di sela-sela kampung ibadahku
huh.. tikam-tikam setan di dadaku, dada kita, retak entah, prilaku dari hutan-hutan yang memelihara jin
tempat para dosa dan pahala bersembunyi
..........................
Doa II
KarenaNya
aku ingin mati
dalam keadaan tak berkelahi denganMu
hah.. lapangkan kuburku, di mana aku akan ingat "siapa nama Tuhanku"
aku ingin Ia, meletakkan ku pada surgaNya, tempat para wali baik, menyaksikan janjiNya
karenaNya
percayaku tentang masa-masa, untuk mengarahkan kepalaku pada kiblatNya
huh.. bersihkan urat darahku, dari laknat dan murka, aku tak ingin neraka
tempat para dosa dianiaya
Doa III
Tuhan..
Jemput aku
dalam hingar bingar doa padaMu
Hening
segala yang tidak kita temukan
(degup...degup...degup..degup
ha...ha..ha..ha)
persetan mengenal diri
persetan menjadi diri
kita telah asing
dengan degup jantung sendiri
(degup..degup..degup..degup.
ha..ha..ha..ha..ha)
suara maut berkejaran
mengintai setiap diri yang tak saling mengenali
aku, kau dan mereka, sama saja menunggu murka
lalu mari kita dengarkan tangis-tangis yang setiap saat akan pecah
lalu kemana kita membawa pertapaan ini
sementara terjun di atas sana sebentar lagi akan runtuh
menimpa tubuh kita
kasihanilah diri dan hati kita, jantung kita, dan juga engkau yang memandangku membaca puisi
mungkin juga akan rubuh tertimpa
lihat..!!
siapakah manusia itu, kita?
yang selalu berlari seperti anjingkah?
dengan lidah yang terjulur menerkam apa saja, membantai siapa saja, memakan hak siapa lalu mengencingi muka siapa?
(degup..degup..degup..degup
ha..ha..ha..ha..
kita telah menggonggong kesurupan hingga tak mendengar degup jantung yang kecemasan)
dengarkan, dengarkanlah
masih berbicarakah manusia itu
(degup..degup..degup.. degup
ha..ha..ha..ha.. )
dadaku ngilu mencibir bibirku yang membatu
bisu ternyata kita dengan degup dada orang lain disekeliling kita
degup yang lapar, degup yang takut, degup yang berhenti
tak saling lagi menjenguk berucap salam berkasih-kasih
mari kita pulang
menata perjalanan kembali
bukan hanya esok yang selalu kita pancang dengan khawatir
tapi tugu sejarah yang tertinggalkan, rindu untuk diziarahi
8.28.2009
Pituah lelaki rambut wangi pada malam puisi
kita berhujan-hujan kata, menuruti kayuh sepeda ontel lelaki tua berambut wangi
yang sekali tempiasnya kita terjemahkan bersama
diatas teras rumah orang seberang yang asing
menghambalah kita pada kertas-kertas yang telah dilumuri ludah kopi kita
asap-asap rokok yang genit mengepul pun tak tinggal diam
menerka senyum pelepah kelapa, mencerna seringai hampar pantai tengah malam
yang pasirnya putih, seputih warna malam yang sedang kita gubah menjadi hitam
aku sedang menuju langit-langit kataku tanpa ingin mengangkat setapakpun pijak kakiku, katamu dengan desah nafas yang tertukar dengan angin terkirim lautan,
sesekali kalian selipkanlah puisi diantara penat yang hanya akan mengukur umur
: hingar bingar dunia ini kawanku, tak lebih dari protes anjing yang bersuara parau, mengonggong untuk perutnya yang tak terisi, setelah para penguasa mengajari kita lupa menanak nasi dengan permainan harga
aku sedang menuju bumi jiwaku tanpa ingin kepalaku tersuruk busuk didalam tanah yang ada darah penganiayaan akan nasib dan takdir
sesekali kau taburilah dengan puisi, agar perang ini sedikit bernyanyi
: tak seperti cemooh dan tingkah mereka yang berpura-pura, kepada segerombolan orang yang tak mengerti apa itu hukum dan hukuman, mereka hanya bercanda, diantara permaianan azal dan kematian
batukmu semakin parah
sembari merapikan pecimu yang hitamnya mulai berubah
ah sudahlah katamu terhentak
: rapikan buku kalian, penuhi bumi ini dengan puisi, sebagai penyeimbang kebohongan. bukankah kita ingin mati dalam keadaan tidak mengeluh?
ditiga masa yang menandakan kita masih dalam perjalanan adikku..!!
aku melihat tulisan tangan ayahku
: tak ada kebagaian yang lebih bahagia selain melihat kebahagiaan kalian, kalian yang memiliki kehidupanku
di bola mata ibu
aku mengapung
: oleh genang air yang terbendung.
di nisan makam ayahku
ada nyala yang membakar
: tidak sekedar rindu
untuk adik-adikku
: jangan ceritakan pada siapapun tentang dinding rumah kita yang lapuk, sebelum aku mati..!!
Pamit
hingga sepatahpun tiada tersisa
tentang pusara
tentang kamboja
tentang puisi
terkubur satu
kabar telah sampai
mungkin aku pamit mencumbumu
kata-kata yang setangah musim menduri dan membangunkanku
selamat tinggal
kutitip puisiku, pada angin, pada cahaya, pada malam, pada kehidupan yang masih menghidupinya tanpa penjaga. jikapun lapuk, biarkan ilalang dan rerumputan yang mamakamkan..!!
7.10.2009
Melika
sementara kau barat cahaya tempat kisah tertinggal benam
dulu padamu aku pernah menetaskan anak-anak rahimku yang seluruhnya rindu
berharap setaman kita menganyam rasa, bercinta menjanjikan bunga dan kupukupu tetap bercumbu
setelah sepenggal demi sepenggal masa itu kuturuti sepi
tanpa janji meninggalkan aku sendiri di kota ini dengan rimbun gundah yang tak mampu kusiangi sendiri
tiba-tiba saja kau hadir dalam sebentuk senar tak berirama, hanya senar, menancap di pangkal leherku, menembus ke jantung, lalu melilit dihati dan meluruskan ususku seperti jalan pergimu yang tak mampu kuhadang
seketika...
seketika kau penggal lamunku, irisannya kau tuang dalam secawan bola mata yang terbelah, yang kau jadikan tetabuhan melebihi kecepatan rasa sayang itu sendiri, menjadi dentum malapetaka, melebihi malapetakanya cinta yang sedang terbaring koma.
dan pada...
pada enyah mentari, pada ungsi gugus cahaya, pada kelam, pada segala hitam, akan kudukakan perlakuanmu yang demikian melambungkanku sekejap, seakan-akan kau sedang berdiri dengan jubah putih memagang tongkat yang ujungnya berbintang, lalu kau susun sedihmu, kau hujani aku dengan airmatamu hingga aku mengigil perih
melika
sudahlah bawa bahagiamu lalu sisihkan sedihku
sejak lingkar cincin cintamu terikat, usah kau gaduh aku dengan puisimu
keatas ranjang pengantinmu esok, katakan aku tak mengapa dan tak siapa
takkan ada putar ulang masa
sebab segalanya mulai teduh tanpamu
Hari haru
induk dari kepedihan,menyerat pedih menjadi masing-masing pusara
tingkah perlakuan apa yang berdiam dalam mimpi-mimpi malam ini
terpeluk sekali pagi, entah mana derak yang patah, lalu derai pula airmata
ngilu padamu ini tak pernah kami sampaikan oh nan padam terkenang
yang kami tahu titik-titik pada bilah pedang matahari ini
adalah mata yang beradu dengan mata kami
silau mana yang akan mengedip, lalu nyawa mana kan berpulang
tak terjawab semestinya hari ini hari apa
tak terkira semestinya berapa kematian sudah yang kami tangisi
yang ada esok, lusa dan kapanpun derita itu singgah
perlakukan dengan santun, laksana kita adalah ibu dari mahabijaksananya matahati
sekali waktu dimana nanti peran berganti
akan kami titip luka, pedih dan airmata ini pada Tuhan
akan kami ceritakan kepada anak cucu kami bahwa kehidupan ini begitu menyenangkan
turunlah.. jejakkan kakimu pada bekas jejak kaki kami yang darahnya mengering sepi
Tadarus kesunyian
bayang-banyang pun entah, berlari dari satu padang kepadang lainnya
membaca apa saja yang lekat dalam sadar
mengilhami alam lain yang ada di luar tubuh manusia
satu kalimah itu begitu sahaja
membangunkan detak jantung yang bernyanyi bisu
sujud semesta pada satu yang ada dan tiada
sunnah dan fardhu seirama berlaku satu
ya Tuhanku
tadarus kesunyianmu ini begitu perkasa mempersatukan langit-langitmu besarta megacahaya
hitam dimataku terang bagiMu
alam yang bergandengan, akur menuju satu sajadah sujud yang searah
dengung dan ngiang meremuk redamkan tulang
dari tak bersuara lalu menggema hadir dalam barisan ibadah
dentum mendentum seluruh jagad raya yang terbentang
dalam sunyi, dzikir sahut bersambut padaMu berserah
Kutunggu kau di kilometer debar
seribu kilometer debar
membahas lekuk rindu
yang semakin memar
adakah kau rasakan angin itu menguntit
segala tapak dan bau kita
mengitari curiga
kemana rasa kan dibawa
kemas senyummu
susun rapi seperti semula
mari kita tipu semesta
dengan lari sejadi-jadinya
6.18.2009
Pada satu masa, aku bersama usia
ada rintih dari asbak-asbak masaku yang tidak lagi bundar tidak lagi satu
pat kulipat timbun ubanku yang rekah berpecah belah
berkamuflase menjadi sebatang rapuh
..................
anak-anak itu berlari bersama derik jangkrik
memecah lumpur yang menggumpal dalam celah mata paku
ini magrib kata, ini magrib masa dan ini magribku
sementara aku mengeruh, dalam renung tercekik
mana bagian tubuh ini yang tak berTuhan
biar kutanggalkan kuberikan kepada anjing
Dalam kolam mata lelaki itu bulan menggenang
beritahu aku bulan yang kau genggam
teruntuk perempuan tak bernama
yang menyimpankan malam
turunlah...lalu caci maki kerinduan ini
hinggapi sesak dada yang sepi
: tancapkan sebilah lihat, dalam kolam mata lelaki yang darahnya itu mulai memutih
Tentang madu, kumbang dan bunga yang hanyut
Dalam dendam luka bibir bunga, ditingkah gemulai kepak sayapsayap yang teralun rindu, aku kelu, merafal mantra birahi yang singkap. Oh yang setaman, didihkan wangimu, sampai kita saling memuji digemetar waktu berikutnya, hingga aku khidmat mengeja bahwa yang ditunduk jemari daun itu adalah bungaku yang hijrah dimusim semi, lamunku sungguh..
2
Dan pun kini kau tiba, lekas beringsut dari deru-deru kota pagi ini, beserta geletar kelopak sayapmu, menindih aku berpeluh resah, mengajak maduku menari mendebur awan, lalu kau kan ku hujani kau dengan derasnya laksana batubatu yang terlumuti. atau lebih baik Kutunggu saja kau dipintu taman, mengarak barisan gairahmu. Tapi.... akh, sebabmusabab tiba-tiba kubenci.semula kutenang, lalu maduku asin, hanyut kelaut, kusut, lebih baik senggamahi aku di pantai mana kan terdampar.
3
Ini tipu detik yang menelikung tepitepi kelopakku, mengandung ribuan lelucon tentang asmara dan pertemuan, dalam kelaskelas angin di bibir semenanjung ini, kau dendangkan saja lonceng seribu tangisan pada hanyutku, niscaya akan lumpuh debur laut ini, menepikan ku segera. Tentang madu ini, sungguh, masih terjaga atas muslihat benci yang berdentum dalam bibir ajalku. Lebih untukmu, kusisakan manisan ratu, setelah ini kau setebuhi, jangan kau bermimpi menziarahi kuburku sepatahpun.
: ingat, gugurku saja tak bertabur kemboja.
aku dengar ditelaga itu suara perang, disaksikan tugu pahlawan yang dadanya berdarah
pelurupeluru timah dari bibir telaga
berlabuh di dada
lalu kaku jadi batu jadi tugu
ringih perdu musim hujan
menumpang lalu angin ke daratan
simak spasi aur yang saling bergesak
menyiratkan siulsiul sejuta nyanyian kematian
diantara semak ilalang hadir bunga-bunga
berbau darah dan mesiu
tercium sungguh, ditingkah berisiknya suara dentuman dan senapan
aku beranjak, meninggalkan telaga tragedi sambil menahan bulu kuduk yang semakin nakal
Doa kolam ikan
tak ada bagian rezeki yang kudapatkan pagi ini
jangan harap akan ada gengam telapak tangan terbuka untukmu
menyelamlah, kais kebawah sana apakah bagian rezekiku yang tenggelam disana
lihat..!
ha..ha.. matanya melawan marah
melemparkan lumut, kotoran dan seluruh airnya yang tak bisa lagi tempat untukku bercermin
sekedar melihat apakah di wajahku ini masih ada lelah setelah semalaman berperang hujan
ikan buruk dalam kolam tergenang kumuh
jangan tatap aku, arahkan bola matamu pada pencipta
pintalah padaNya dengan ibadah dan ibamu
semoga saja doamu lebih laju, mendahului doaku yang sudah kehabisan akal
6.04.2009
Kusut Api
memperhatikan anakanak sungai
yang di dalamnya kita temukan kusut api
tentang peran lakon dan puisi
mengapa sedih itu menjadi air?
katamu menikam lekat mataku
sungguhkah kita dari tanah yang terpijak ini
lalu berlari bermain bersengketa berupa-rupa diatasnya
.........
kita tidak sepenuhnya tanah juga air
yang kuterima dari ibu semusim lalu
kita menari kawan
merunut kisah kusut api yang tenggelam dalam arus sungai
jika masanya tiba purnama terbelah
kutunggu kau disini bisikku di dinding telingamu
jangan kecoh lagi aku
dengan pertanyanmu tentang duka lara
: airmata biarlah airmata, huh.
Untuk Temanku: Mh Poetra
selamat jalan sob, hati-hati, jaga dirimu baik2..
semoga sukses,
nanti kita tambang lagi "kusut api"
Usai
aku tak mampu lagi menerka laju angin di matamu
aku tak mampu lagi menghitung lengang di hatimu
semburat senyum kusut, selalu menjerat temali jantungku hingga tak berdebar lagi saat menciummu
Kau giling aku wahai kekasih
sampai aku pecah dan terasing
kau mungkin tahu, jazirah mana lagi yang tak kusinggah
dan ini, sungguh menelantarkanku menjadi asing dan mengasing
Sekali pagi bersama deru angin
kau jenguk aku dalam keresahan
dengan mendung aku kau tegur
lalu kau cubit kau pukul kau tindih kau pijak kau matikan kau tamatkan kau bisikkan
: mungkin Tuhan kita berbeda, sehingga cinta kita tidak pernah sama sayang
Jibaku
telan pahit lalu berjibaku, mambaca desisdesis dari dua katup belah bibir
auman ditutup putus menderu jua menapak jua menggadai jua
didih sak wasangka dalam api jerang darah debu marah kayu suak tabir
: gumul beradu maju, benar beradu padu, Tuhan Beradu Satu, kita lumut jadi batu
Asap tungku emak
Mukaddimah
semoga jangan
sajaksajak yang lahir dibumiNya ini
menjadi berhala baru dalam jalan lain penyembahan
penyair bukan jibril
yang Turun dengan jubah cahaya
lalu singgah ditengah manusia
membersihkan hati dengan zamzam hingga kudus,
Tuhan kami
sajak kami biasa
tak firman dan tak wahyu
tak ditulis dalam surga
tak bararti apaapa dihadapMu yang maha Indah
: ampunkan kami yang sempat terbawa
"Puting Susu"
tidak usah takut kau mencumbu
mari nestapa ini akan kita susun bersama
menjadi sayapsayap kedamaian menuju bulan
dan...
: PUncak marah atas TINGkahmu yang menyuSUn Kecewa, kini SUdahlah kutinggalkan lupa
5.16.2009
JUDUL
tentu bukan aku atau kau yang menjadi pagi
debur mendentum dada kelam
sunyi menggelar sengketa hati
dan kita asing, terpaku meratap akan tanya
sampaikah jiwa pada puncak peretas mimpi?
dimana sumpah dan peluh tlah terkuras dalam
malam membungkus kita kawan,
di batas sadar dan resah,
segala berlalu!
dalam sepucuk sajak cinta berbungkus debu
kau selipkan ragu yang membaru,
tanyamu,
dalam keakuan yang tak putus menjunjung sedih.
kukatakan saja dari sini aku akan lebih hidup
cukup hanya dengan mengenangmu,
; sebagai nyala yang tak padam
dingin semakin merasuk, gigil membuncah sunyi
malam beku! Selimut sajak mempertebal rasa,
kita masih terjaga
* Apresiasi untuk kawan
MH Poetra
Mari kita yakini.. kita adalah perang dalam perang.. dan kekuatan itu adalah diri kita sendiri
5.05.2009
Kami adalah Bagian Zaman yang belum berhenti mengerang
punah melamunkan benak yang bersidekap diam
habis masa tertinggal dalam ketinggian yang menjadi puncak orgasme yang terlupakan. ku pun tahu, yang kita pikirkan adalah zaman yang kita diami adalah kesunyian tanpa batas, yang berlalu berlalulah,
setitik yang kau pajang menjadikan pancuran penghabis ruh dibadan
sementara kami yang apung kian tenggelam, sekalipun tidak digenangi berjenis apapun selain mantra-manrta yang dibacakan berbisik.
biar gelora dan amuk kami tuai atas perselingkuhanmu
sebab kami adalah zaman dari kesunyian yang kau onanikan
tubuh yang gemetar adalah pertanda setia atas murkamu
yang sampai saat ini belum berhenti mengerang
4.30.2009
Bukan Jejak Telapak Kakimu
pada setapak jejak kakimu
tapi aku lebih pada
bentang seluas jilatan ombak yang belum sempat kau pijak
aku bukan lembaran yang sudah kau sajakkan
hingga aku menjadi kesimpulan yang ada pada genggamanmu
tapi aku adalah buah senggama perenunganku
dari segala yang mengendalikan aku, bukan kamu
aku akan berlalu kemana saja inginku
tak usah kau membuka pintu rumahmu untukku
dimana aku terkapar disitu aku mati
dalam caraku yang selamanya tak pernah memenuhi caramu
4.27.2009
Semedi Kata
4.23.2009
Tuhan... Beri Aku Jeda Untuk Berperang
sementara tetabuhan kian gumuruh, keapaadaan senantiasa bisu, terseok disandung oh disandung, yang tak terlawan menghujam bumi mencaci maki.
pelita redup kianlah redup disambar angin nan salah jalan
demikianlah kisah hingga yang terpendam makin membenam
kuputus-putus cercah cahaya dengan telapak jari
maksud hati yang menghitam, menuntut balas atas doa yang tiada tersempatkan
Tuhan Oh Tuhan yang bukan perempuan
apa daya mengirim pinta yang haruslah sampai dilangitMu segera
hamba manusia seperti manusia
bagai pasang menggenang, pun jua bagai surut nan menyurut
duhai takdir duhai nasib mari berperang
amuk yang amuk sungguh makin tiada tertahan
sebelum tega tikam-menikam
tunggu sejenak aku ingin beristihqfar
4.20.2009
Tak kuberi Judul
tapi aku mulai lalai menidurkanmu
hinga sepagi ini kau masih setia mengetuk biduk kayuku yang dipeluk lumut
berlomba dengan dengus nafasku menghantar ransum cintamu
umpan sudah kutabur,kail sudah menyelam
biarkan kita saling menunggu
hingga bau dan rupamu menjilat-jilat kayuh perahu yang menuju
tunggu aku yang ingin merajai seluruh bahagiamu, di tempat biasa kita bersetubuh tatapan
pun segulung jala dan ombak yang kukawinkan
bermain dilautan, bercinta menghadap awan, berharap di langit bersiteguh dalam karang yang kesemuanya demi mu yang sedang menjalin seprai tempat tidur untuk kita nanti malam
dinda, nanti setelah sampai, kau dekap aku seerat-eratnya dekapanmu
dalam bau tubuh ini akan ada pengertian yang akan meluluhkanmu untuk segera berserah rasa
4.18.2009
Ketika Aku Berkisah Kita
aku bukan duniamu
bukan juga harimu
aku hanya bagian dari apa yang kau rasakan
jangan kau jadikan aku yang belum tentu setia ini
menjadi apa dari adamu sepenuhnya
sebab jodoh belum dibocorkan Tuhan
Nikah Embun Pagi
yang kutatap sedemikian telanjang
berlari kecil gerigi kerikil
menimpa ubun-ubun pagi
senyap hening kubahasakan cinta diam-diam
"huh..aku terima nikahnya embun dan pagi
dengan mahar segenap yang tak kua miliki, .. TUNAI"
4.16.2009
Tafsir Cinta Tak Terterka
menerka cinta yang dikandung
menebak rindu yang terpasung
sampai menggigit bibir pun
tak mampu kujumlahkan
cinta pergilah berlari dibawah hujan
basahkan seluruhnya
mungkin
hanya dengan ini aku mengerti
cinta disiram hujan menjadi basah
Anjungan Perahu Bercadik
kutulis dikau pada bau dan rembulan
menjadi malam dan pelepah terlama
menghadang langit turunkan segera
duhai gelisah nian menyengat
terpecah jua kan kiranya
memancang sauh menjulur mata
tentang tanah di lenguh camar
bersajak anjungan perahu bercadik
pulang senja menjemput bekal
dirimukah yang sedang menyemai
menabur tumbuh menanam tuai
berkisah riak di bawah awan
membaca mantera menahan dahaga
Ditepian Ruh yang Hilang
kami dan segenap yang ada pada adalah kesementaraan yang tiada terbantah
mengayuh dan menjaring kecintaanMU dalam sela-sela keterjalan gemuruh iblis mahasesat
melayari semilir, pun jua badai yang menjadi keniscayaan bentang kehidupan
dan akan kepadaMu lah kami kembali
hingga yang tertinggal adalah kesempatan
dari kisah-kisah persaksian
sebab ini akan di hitung oleh timbangan mahakeadilan
dan turutlah padaMu
yang di panggil dini hari
Ia adalah milikMu sepenuhnya
sementara kami berjalan menuju terdahulu yang telah sampai
ditepi Ruh yang hilang
adalah kebenaranMu yang datang
sungguh..
kerelaan adalah kepantasan menjumpai hikmahMu Tuhan
Ia yang Telah Menjadi "Jalan"
tanggul tua merebah di dini hari membawa aroma murka
membentang ia yang nyata menjadi tragedi dengan ruah setinggi teriakan menyembunyi azal
tiada bisa... peran-peran itu hilang sekejap menjadi diri-diri yang tiada
apapun dia dari kejauhan sudah terlihat menjadi masa yang tertinggal diam
sajak-sajak terbit kehabisan bahasa sebab kata yang selalu berduka
doa dan lantunan ampunan pertaubatan menjadi pengisi penutup kisah
sungguh demikianlah yang tergerak dari mulut ahli musibah
perenungan itu tampak jelas
dimana Tuhan membagikan teguran dalam air yang semula tenang
situ gintung
telah menjadi "jalan"
(dimuat di Tabloid Mahasiswa Suara USU edisi 69/XIV/April 2009)
4.14.2009
3.30.2009
Jalan Lain
kuyup bersama angsa pulang ke tepian
ikut terbawa permainan hujan
yang rintik di daun mata bersilauan
deras ia menindih mati kaki
lalu menghayut fikir yang terbentur jalan
oh.. aku yang merenangi nasib
kehilangan cara untuk bertahan
sementara aku berlabuh di lumpur
teruskanlah doa memapah harap
mungkin aku memilih jalan
dalam daratan yang tersisa
Teman Kata
memfilsafatkanmu, mensejarahkanmu, membahasakanmu
lalu menghidupkanmu dalam kata-kata
hingga kau bisa bercerita banyak tentang hidup
kau teman kata yang hilang setengah musim
setelah dingin sendiri di gigit malam
hampir kering di tunduk terang
aku percaya dahagamu kan kosong sekalipun ku tinggalkan kau di padang kerontang
dengan nyiur yang selalu melambaikan pesan ku dalam separuh waktu
menyempatkan padamu sapa bersalam rindu
lalu menjejakkan kisah yang jua kan ku lamunkan padamu
dipertemuan februari hujan
mari kawan kita membaca sajak dengan khidmat
Tiada Kau Yang Kan Ada
sampai terkatung aku entah...
memfirasatkan mu selalu dalam bentuk kemauan keindahan milikku
hingga senja buta itu menegur, aku adalah ketidakmungkinan untuk mu
kembalilah kau surut ke pantai
tunggulah ombak menjilat angan
angin adalah pembawa
dari segala kekosongan rasa
semakin aku menyadarkan itu
aku semakin dihempas entah
di kota mana ia tidak ku temui
disanalah aku terdampar selalu
ini aku mengurung kisah
melingkar cerita
menimbun keinginan
mematikan langkah yang akan sia-sia
sebab hati itu tiadalah paksa
katamu di sebuah pesan singkat dini hari.
3.28.2009
Gemuruh Subuh
mati kerandakan sesejuknya pejam
bola bening lihat tertaut diludah deru pagi menjilat terang benderang
aku yang hidup, lalai manja kumandang subuhMu Tuhan
3.24.2009
Doa Gerimis
membawa kepada sepetak ruang tempat bertarung nestapa
oh pada temaram ku dukakan gelisah
gerimis beringas menggulungku pada ibu yang ku harap tidak terluka
aku mencarimu di kepingan manasaja tempatku berkisah
menyandarkan segenap, seluruh. segala, sedemikian rupa keperihan
ini malam selasa basah
Tuhan menegurku sekiranya
ini malam memberi sebab
untuk pagi ku yang akan resah
ini malam aku bermunajat kepadaYang Rahram ya Rahim yang Esa
sujud ku dalam padam keingatan yang hanya nyala padaMU
Aku bermohon untuk telapak kaki yang berisi surgaku
andai cobaan itu kau hadiahkan sebagai bentuk kasihMu
jangan akhiri keputusanMu
sempatkan aku untuk bersama memberinya bahagia
Pagelaran
berubah wudud
bertukar rupa
seperti manusia mencontreng manusia menjadi Tuhan
3.23.2009
3.22.2009
Kalimat Kusut
Aku menantang
mencariMu di langit yang tak pernah menjatuhkanku uang seperti hujan
"nikmat mana lagi yang kau dustakan"
kalimat kusutku
mundur menyurut
betapa meruginya aku jika di paraghrap ini Kau cabut nyawaku Tuhan
sebelum aku sempat menulis kesadaranku
ampunkan aku Tuhan
memanusiakanMu dalam kekalutanku