11.23.2009

untuk Jalan yang sedang dibaca

kita berangkat sebelum hutan-hutan dinyalakan matahari, kau berjalan berjingkat menahan gemetar dagu. aku tidak terlalu berharap engkau akan gembira dengan tempat yang akan kita tuju, sengaja aku tidak memberitahumu.

dan sekarang saatnya kita pulang sebelum hutan-hutan dipadamkan malam, kembali kulihat kau berjalan tertatih memanggul peluh, aku tidak terlalu berharap engkau akan akan gembira dengan tempat yang akan kita tuju, sengaja aku merahasiakan padamu.

mungkin esok di layar televisi,
mereka akan membaca kita sebagai sajak indah
tentang sepetak sawah di halaman rumah tidak berjendela

Titipan Jauh dari lelaki dalam perang

telah ia titipkan sebutir peluru dalam rahim
membaca resah tulisan kematian
mengomandoi arak-arakan di halaman
maut untuk lelaki yang sedang bersetubuh dengan bendera di negeri jauh

sepi-sepi belantara akan ramai dengan perang
luka-luka semesta akan sembuh dengan ledakan

dan pun telah ia titipkan seorang bayi dalam laras senapan
yang akan menembus dadanya
memberi kabar tentang perjalanan yang tidak akan pernah tuntas
disaksikan ribuan pelangi yang pecah berantakan

mungkin, sayup-sayup angin tak akan pernah terdengar
sebab benteng-benteng telah memperangkap laju suara
mengurung bunyi dalam saku yang tertutup rapat
apa daya sebab darah terlanjur berserakan

ceritakanlah tentang mimpi buruk yang selalu datang dalam setiap adegan
mengkabarkan betapa layaknya kehidupan dipertukarkan dengan kematian
mereka begitu tangguh memberi perintah
: sementara di bawah pasir-pasir telah tertimbun sepasukan nyawa ketakutan

dan akhirnya telah mereka balas titipan jauh
dengan airmata perempuan yang menjenguk nisan atas namanya


medan/bambang saswanda harahap

Bagaimana jika aku bercinta dengan angin

jika saja angin bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dicintai, mungkin tak seberapa keberadaanmu disini, tak akan tertangisi olehmu kami yang terbang meliukliuk melewati setiap likuliku waktu,
lalu pada jendela rumahmu kami akan mengendap, mengintip rupamu yang dizalimi keliaran perasaan yang salah kau muarakan. ternyata cemburu telah menutupi duniamu, engkau telah lupa, aku tak sekedar bercengkerama dengan rindu, tak sekedar membuat jantungmu berdetak, keberadaan ini serupa jalan terbentang, jika mundur pilihannya hanya kesusahan hati bagiku.

namun bagaimana jika angin terlanjur membawa pergi, nun di mana matamu tak mampu menangkapku, cobalah resapi segala kisah, apakah kan kau dapati aku seperti sedia kala?

merataplah.
biar aku semakin hilang dalam nyatamu.


medan/ bambang saswanda harahap

Sebungkus Bola Memantul

bola..bola..bola..MEMAN..tul/meman..TUL..BOLA..BOLA..BOLA
tul..Meman..tul..MEMAN..tul..BOLA..BOLA..BOLA/bola..bola..bola..TUL..meman..TUL..meman..TUL BOLA MEMANTUL/memantul bola/MEMANTUL..BOLA..MEMANTUL/bola..memantul..bola
BOLA..BOLA..MEMANTUL/memantul..bola..bola/memantul..mantul..BOLA.. bola..bola..MEMANTUL..
ah..bola..ah..memantul

***
ini dik, bola yang semula memantul setelah kubungkus menjadi diam, maafkan aku dik, yang tidak mampu memberikanmu sebungkus bola memantul. Mungkin lusa, bola memantul akan terbungkus. Tentunya untukmu dik.

dik ini bola memantul, tapi setelah memantul tak bisa dibungkus, maafkan aku dik, mungkin lusa, bungkus bola memantul akan kutiup seperti pintamu, hingga bola memantul-mantul dalam bungkus yang kutiup. Tentunya untukmu dik.

bungkus bola memantul sudah kutiup dik, namun aku lupa memasukkan bola memantul kedalam bungkus bola memantul, bola memantul masih memantul dik, tapi tidak dalam bungkus bola memantul, mungkin lusa dik, bola memantul akan kumasukkan lagi kedalam bungkus bola memantul. Untukmu tentunya dik.

bola memantul sudah kumasukkan kedalam bungkus bola memantul dik, tapi aku lupa meniup bungkus bola memantul, bungkus bola memantul masih bisa untuk kutiup dik, mungkin lusa, bungkus bola memantul akan kutiup menjadi bungkus bola memantul. Untukmu tentunya dik.

dik, ternyata hujan ini begitu tajam hingga bola memantul tidak lagi memantul dik, dan juga air dari mata begitu deras hingga bungkus bola memantul menjadi lembab dan tercabik, tunggulah dik, bola memantul dan bungkus bola memantul yang baru sudah kupesan, mungkin masih di perjalanan menuju rumah kita, lusa nanti pasti bola memantul dan bungkus bola memantul akan tiba. Untukmu dik, hanya untukmu.

dik, akhirnya perlu kau mengerti bila bola memantul hanyalah kisah, dan bungkus bola memantul adalah irama, yang kunyanyiceritakan padamu menunggu matamu terkatup, setelah itu kau bebas untuk bermimpi apa saja dik, seribu bola memantul dan bungkus bola memantul silahkan kau kunyah, ini hanya cara dik, sama seperti aku mengisahkan padamu tentang menu-menu makanan yang tak kunjung matang dalam ceritaku, hingga laparmu lena menjadi kantuk, begitulah dik, sementara hujan ini masih belum milik kita, jangan kau sedih dengan airmata yang ruah.



Medan, Bambang Saswanda Harahap

11.03.2009

dari kedalaman

Dari satu peristiwa ke peristiwa ia berlari dengan kaki pecah, sementara di kedua belah tangannya ia masih saja setia menggenggam keinginan untuk anak-anaknya, untuk tidak menangis ketika malam telah membunuh seluruh sepi. demi secangkir dan sesuap kesempatan.

*****

satu perjalanan, bumi atau bulan atau selaksa perih pedih, hewan-hewan, gugur bunga, setelah gerimis pecah, gunung-gunung, liang-liang lahat, purcama atau berarti, tenang atau galau, hingga tiba masanya menunggu satu kreta malam, menuju kota-kota, berziarah dalam kelam dalam sunyi, untuk menemukan sesuatu yang berada diluar dirinya, tentang senandung anak-anak pencari sampah, anak-anak penyanyi musim, anak-anak hujan dan badai, demi sejumput keinginan yang berserakan, lalu satu memisahkan diri, pulang kembali, letih terlelap, dalam air dari matanya, yang jatuh pada lelahnya jalanan yang tak henti saling membunuh.

Aku Sedang Melihat Bumi Memiliki Dua Bulan

aku sedang melanjutkan usia
dari mata-mata dan angin, menuju dadaku yang retak
masihkah lagi kau menegurku bunga
mengerling manja, mematahkan satu-satu jemariku yang ingin menampar mukamu

aku sedang menghindar dari camar yang berkejaran
sebab aku tak ingin patuk bibirmu mengunyah lagi rumpun mataku
yang selalu hilang tenggelam
jika ingin aku menggadai rupamu dalam angan-angan

aku sedang melihat bumi memiliki dua bulan
terpasung antara cahaya-cahaya yang menjerat
sementara di matamu lagi
mimpiku hilang

aku tak sedang lagi
mengulangmu disini
cuih..
: kuwariskan keinginan pada sekotak mimpi. yang tak berpeta dan berjejak.

Doa-doa yang Berkelana

Doa I

karenaNya
rebah darahku di sini
mengalir
hah.. pajang-pajang rupamu, di makamku, dimana kata mereka kubur bersama
aku ingin Tuhan. mengangkat tabir-tabir di ujung sana, tempat para malaikat, menanak mimpi bumi

karenaNya
tumpah imanku, laksana mengutuk-mengutuk bisu takdir, seperti mencuri, di sela-sela kampung ibadahku
huh.. tikam-tikam setan di dadaku, dada kita, retak entah, prilaku dari hutan-hutan yang memelihara jin
tempat para dosa dan pahala bersembunyi

..........................

Doa II

KarenaNya
aku ingin mati
dalam keadaan tak berkelahi denganMu
hah.. lapangkan kuburku, di mana aku akan ingat "siapa nama Tuhanku"
aku ingin Ia, meletakkan ku pada surgaNya, tempat para wali baik, menyaksikan janjiNya

karenaNya
percayaku tentang masa-masa, untuk mengarahkan kepalaku pada kiblatNya
huh.. bersihkan urat darahku, dari laknat dan murka, aku tak ingin neraka
tempat para dosa dianiaya

Doa III

Tuhan..
Jemput aku
dalam hingar bingar doa padaMu

Hening

bukankah keheningan tempat mencari
segala yang tidak kita temukan

(degup...degup...degup..degup
ha...ha..ha..ha)

persetan mengenal diri
persetan menjadi diri
kita telah asing
dengan degup jantung sendiri

(degup..degup..degup..degup.
ha..ha..ha..ha..ha)

suara maut berkejaran
mengintai setiap diri yang tak saling mengenali
aku, kau dan mereka, sama saja menunggu murka
lalu mari kita dengarkan tangis-tangis yang setiap saat akan pecah


lalu kemana kita membawa pertapaan ini
sementara terjun di atas sana sebentar lagi akan runtuh
menimpa tubuh kita
kasihanilah diri dan hati kita, jantung kita, dan juga engkau yang memandangku membaca puisi
mungkin juga akan rubuh tertimpa

lihat..!!
siapakah manusia itu, kita?
yang selalu berlari seperti anjingkah?
dengan lidah yang terjulur menerkam apa saja, membantai siapa saja, memakan hak siapa lalu mengencingi muka siapa?

(degup..degup..degup..degup
ha..ha..ha..ha..
kita telah menggonggong kesurupan hingga tak mendengar degup jantung yang kecemasan)

dengarkan, dengarkanlah
masih berbicarakah manusia itu

(degup..degup..degup.. degup
ha..ha..ha..ha.. )

dadaku ngilu mencibir bibirku yang membatu
bisu ternyata kita dengan degup dada orang lain disekeliling kita
degup yang lapar, degup yang takut, degup yang berhenti
tak saling lagi menjenguk berucap salam berkasih-kasih

mari kita pulang
menata perjalanan kembali
bukan hanya esok yang selalu kita pancang dengan khawatir
tapi tugu sejarah yang tertinggalkan, rindu untuk diziarahi

8.28.2009

Pituah lelaki rambut wangi pada malam puisi

sejak sajakmu terjejak dalam barisan serdadu perang desember
kita berhujan-hujan kata, menuruti kayuh sepeda ontel lelaki tua berambut wangi
yang sekali tempiasnya kita terjemahkan bersama
diatas teras rumah orang seberang yang asing

menghambalah kita pada kertas-kertas yang telah dilumuri ludah kopi kita
asap-asap rokok yang genit mengepul pun tak tinggal diam
menerka senyum pelepah kelapa, mencerna seringai hampar pantai tengah malam
yang pasirnya putih, seputih warna malam yang sedang kita gubah menjadi hitam

aku sedang menuju langit-langit kataku tanpa ingin mengangkat setapakpun pijak kakiku, katamu dengan desah nafas yang tertukar dengan angin terkirim lautan,
sesekali kalian selipkanlah puisi diantara penat yang hanya akan mengukur umur
: hingar bingar dunia ini kawanku, tak lebih dari protes anjing yang bersuara parau, mengonggong untuk perutnya yang tak terisi, setelah para penguasa mengajari kita lupa menanak nasi dengan permainan harga

aku sedang menuju bumi jiwaku tanpa ingin kepalaku tersuruk busuk didalam tanah yang ada darah penganiayaan akan nasib dan takdir
sesekali kau taburilah dengan puisi, agar perang ini sedikit bernyanyi
: tak seperti cemooh dan tingkah mereka yang berpura-pura, kepada segerombolan orang yang tak mengerti apa itu hukum dan hukuman, mereka hanya bercanda, diantara permaianan azal dan kematian

batukmu semakin parah
sembari merapikan pecimu yang hitamnya mulai berubah
ah sudahlah katamu terhentak
: rapikan buku kalian, penuhi bumi ini dengan puisi, sebagai penyeimbang kebohongan. bukankah kita ingin mati dalam keadaan tidak mengeluh?

ditiga masa yang menandakan kita masih dalam perjalanan adikku..!!

di secarik kertas di bawah bantal ibuku
aku melihat tulisan tangan ayahku
: tak ada kebagaian yang lebih bahagia selain melihat kebahagiaan kalian, kalian yang memiliki kehidupanku

di bola mata ibu
aku mengapung
: oleh genang air yang terbendung.

di nisan makam ayahku
ada nyala yang membakar
: tidak sekedar rindu

untuk adik-adikku
: jangan ceritakan pada siapapun tentang dinding rumah kita yang lapuk, sebelum aku mati..!!

Pamit

aku tak melihat lagi gelora mata yang membakar di tubuhku
hingga sepatahpun tiada tersisa

tentang pusara
tentang kamboja
tentang puisi
terkubur satu

kabar telah sampai
mungkin aku pamit mencumbumu
kata-kata yang setangah musim menduri dan membangunkanku

selamat tinggal

kutitip puisiku, pada angin, pada cahaya, pada malam, pada kehidupan yang masih menghidupinya tanpa penjaga. jikapun lapuk, biarkan ilalang dan rerumputan yang mamakamkan..!!

7.10.2009

Melika

aku utara hanyut dengan segenap bintang yang kupunya
sementara kau barat cahaya tempat kisah tertinggal benam


dulu padamu aku pernah menetaskan anak-anak rahimku yang seluruhnya rindu
berharap setaman kita menganyam rasa, bercinta menjanjikan bunga dan kupukupu tetap bercumbu

setelah sepenggal demi sepenggal masa itu kuturuti sepi
tanpa janji meninggalkan aku sendiri di kota ini dengan rimbun gundah yang tak mampu kusiangi sendiri
tiba-tiba saja kau hadir dalam sebentuk senar tak berirama, hanya senar, menancap di pangkal leherku, menembus ke jantung, lalu melilit dihati dan meluruskan ususku seperti jalan pergimu yang tak mampu kuhadang

seketika...

seketika kau penggal lamunku, irisannya kau tuang dalam secawan bola mata yang terbelah, yang kau jadikan tetabuhan melebihi kecepatan rasa sayang itu sendiri, menjadi dentum malapetaka, melebihi malapetakanya cinta yang sedang terbaring koma.

dan pada...

pada enyah mentari, pada ungsi gugus cahaya, pada kelam, pada segala hitam, akan kudukakan perlakuanmu yang demikian melambungkanku sekejap, seakan-akan kau sedang berdiri dengan jubah putih memagang tongkat yang ujungnya berbintang, lalu kau susun sedihmu, kau hujani aku dengan airmatamu hingga aku mengigil perih

melika
sudahlah bawa bahagiamu lalu sisihkan sedihku
sejak lingkar cincin cintamu terikat, usah kau gaduh aku dengan puisimu
keatas ranjang pengantinmu esok, katakan aku tak mengapa dan tak siapa

takkan ada putar ulang masa
sebab segalanya mulai teduh tanpamu

Hari haru

Perlahan kami sama-sama mengkerat luka yang tertimpa di ibu jari
induk dari kepedihan,menyerat pedih menjadi masing-masing pusara
tingkah perlakuan apa yang berdiam dalam mimpi-mimpi malam ini
terpeluk sekali pagi, entah mana derak yang patah, lalu derai pula airmata

ngilu padamu ini tak pernah kami sampaikan oh nan padam terkenang
yang kami tahu titik-titik pada bilah pedang matahari ini
adalah mata yang beradu dengan mata kami
silau mana yang akan mengedip, lalu nyawa mana kan berpulang

tak terjawab semestinya hari ini hari apa
tak terkira semestinya berapa kematian sudah yang kami tangisi
yang ada esok, lusa dan kapanpun derita itu singgah
perlakukan dengan santun, laksana kita adalah ibu dari mahabijaksananya matahati

sekali waktu dimana nanti peran berganti
akan kami titip luka, pedih dan airmata ini pada Tuhan
akan kami ceritakan kepada anak cucu kami bahwa kehidupan ini begitu menyenangkan
turunlah.. jejakkan kakimu pada bekas jejak kaki kami yang darahnya mengering sepi

Tadarus kesunyian

Tadarus kesunyian khusuk pada musim-musim yang tak henti berputar
bayang-banyang pun entah, berlari dari satu padang kepadang lainnya
membaca apa saja yang lekat dalam sadar
mengilhami alam lain yang ada di luar tubuh manusia

satu kalimah itu begitu sahaja
membangunkan detak jantung yang bernyanyi bisu
sujud semesta pada satu yang ada dan tiada
sunnah dan fardhu seirama berlaku satu

ya Tuhanku
tadarus kesunyianmu ini begitu perkasa mempersatukan langit-langitmu besarta megacahaya
hitam dimataku terang bagiMu
alam yang bergandengan, akur menuju satu sajadah sujud yang searah

dengung dan ngiang meremuk redamkan tulang
dari tak bersuara lalu menggema hadir dalam barisan ibadah
dentum mendentum seluruh jagad raya yang terbentang
dalam sunyi, dzikir sahut bersambut padaMu berserah

Kutunggu kau di kilometer debar

kutunggu kau di jalan bersimpang
seribu kilometer debar
membahas lekuk rindu
yang semakin memar

adakah kau rasakan angin itu menguntit
segala tapak dan bau kita
mengitari curiga
kemana rasa kan dibawa

kemas senyummu
susun rapi seperti semula
mari kita tipu semesta
dengan lari sejadi-jadinya

6.18.2009

Pada satu masa, aku bersama usia

Tak kusangka sangkakala itu ditiup dijantung senja purnama
ada rintih dari asbak-asbak masaku yang tidak lagi bundar tidak lagi satu
pat kulipat timbun ubanku yang rekah berpecah belah
berkamuflase menjadi sebatang rapuh

..................

anak-anak itu berlari bersama derik jangkrik
memecah lumpur yang menggumpal dalam celah mata paku
ini magrib kata, ini magrib masa dan ini magribku
sementara aku mengeruh, dalam renung tercekik

mana bagian tubuh ini yang tak berTuhan
biar kutanggalkan kuberikan kepada anjing

Dalam kolam mata lelaki itu bulan menggenang

petikkan ibu jarimu
beritahu aku bulan yang kau genggam

teruntuk perempuan tak bernama
yang menyimpankan malam
turunlah...lalu caci maki kerinduan ini
hinggapi sesak dada yang sepi
: tancapkan sebilah lihat, dalam kolam mata lelaki yang darahnya itu mulai memutih

Tentang madu, kumbang dan bunga yang hanyut

1
Dalam dendam luka bibir bunga, ditingkah gemulai kepak sayapsayap yang teralun rindu, aku kelu, merafal mantra birahi yang singkap. Oh yang setaman, didihkan wangimu, sampai kita saling memuji digemetar waktu berikutnya, hingga aku khidmat mengeja bahwa yang ditunduk jemari daun itu adalah bungaku yang hijrah dimusim semi, lamunku sungguh..

2
Dan pun kini kau tiba, lekas beringsut dari deru-deru kota pagi ini, beserta geletar kelopak sayapmu, menindih aku berpeluh resah, mengajak maduku menari mendebur awan, lalu kau kan ku hujani kau dengan derasnya laksana batubatu yang terlumuti. atau lebih baik Kutunggu saja kau dipintu taman, mengarak barisan gairahmu. Tapi.... akh, sebabmusabab tiba-tiba kubenci.semula kutenang, lalu maduku asin, hanyut kelaut, kusut, lebih baik senggamahi aku di pantai mana kan terdampar.

3
Ini tipu detik yang menelikung tepitepi kelopakku, mengandung ribuan lelucon tentang asmara dan pertemuan, dalam kelaskelas angin di bibir semenanjung ini, kau dendangkan saja lonceng seribu tangisan pada hanyutku, niscaya akan lumpuh debur laut ini, menepikan ku segera. Tentang madu ini, sungguh, masih terjaga atas muslihat benci yang berdentum dalam bibir ajalku. Lebih untukmu, kusisakan manisan ratu, setelah ini kau setebuhi, jangan kau bermimpi menziarahi kuburku sepatahpun.
: ingat, gugurku saja tak bertabur kemboja.

aku dengar ditelaga itu suara perang, disaksikan tugu pahlawan yang dadanya berdarah

pecah mendesing
pelurupeluru timah dari bibir telaga
berlabuh di dada
lalu kaku jadi batu jadi tugu

ringih perdu musim hujan
menumpang lalu angin ke daratan
simak spasi aur yang saling bergesak
menyiratkan siulsiul sejuta nyanyian kematian

diantara semak ilalang hadir bunga-bunga
berbau darah dan mesiu
tercium sungguh, ditingkah berisiknya suara dentuman dan senapan
aku beranjak, meninggalkan telaga tragedi sambil menahan bulu kuduk yang semakin nakal

Doa kolam ikan

berpeluh resah diriku wahai ikan buruk dalam kolam tak terurus
tak ada bagian rezeki yang kudapatkan pagi ini
jangan harap akan ada gengam telapak tangan terbuka untukmu
menyelamlah, kais kebawah sana apakah bagian rezekiku yang tenggelam disana

lihat..!
ha..ha.. matanya melawan marah
melemparkan lumut, kotoran dan seluruh airnya yang tak bisa lagi tempat untukku bercermin
sekedar melihat apakah di wajahku ini masih ada lelah setelah semalaman berperang hujan

ikan buruk dalam kolam tergenang kumuh
jangan tatap aku, arahkan bola matamu pada pencipta
pintalah padaNya dengan ibadah dan ibamu
semoga saja doamu lebih laju, mendahului doaku yang sudah kehabisan akal

6.04.2009

Kusut Api

kita pernah rebah di sini
memperhatikan anakanak sungai
yang di dalamnya kita temukan kusut api
tentang peran lakon dan puisi

mengapa sedih itu menjadi air?
katamu menikam lekat mataku
sungguhkah kita dari tanah yang terpijak ini
lalu berlari bermain bersengketa berupa-rupa diatasnya

.........

kita tidak sepenuhnya tanah juga air
yang kuterima dari ibu semusim lalu
kita menari kawan
merunut kisah kusut api yang tenggelam dalam arus sungai

jika masanya tiba purnama terbelah
kutunggu kau disini bisikku di dinding telingamu
jangan kecoh lagi aku
dengan pertanyanmu tentang duka lara
: airmata biarlah airmata, huh.




Untuk Temanku: Mh Poetra
selamat jalan sob, hati-hati, jaga dirimu baik2..
semoga sukses,
nanti kita tambang lagi "kusut api"

Usai

Tahukah engkau wahai kekasih
aku tak mampu lagi menerka laju angin di matamu
aku tak mampu lagi menghitung lengang di hatimu
semburat senyum kusut, selalu menjerat temali jantungku hingga tak berdebar lagi saat menciummu

Kau giling aku wahai kekasih
sampai aku pecah dan terasing
kau mungkin tahu, jazirah mana lagi yang tak kusinggah
dan ini, sungguh menelantarkanku menjadi asing dan mengasing

Sekali pagi bersama deru angin
kau jenguk aku dalam keresahan
dengan mendung aku kau tegur
lalu kau cubit kau pukul kau tindih kau pijak kau matikan kau tamatkan kau bisikkan
: mungkin Tuhan kita berbeda, sehingga cinta kita tidak pernah sama sayang

Jibaku

bahasa ringkih searah duga
telan pahit lalu berjibaku, mambaca desisdesis dari dua katup belah bibir
auman ditutup putus menderu jua menapak jua menggadai jua
didih sak wasangka dalam api jerang darah debu marah kayu suak tabir
: gumul beradu maju, benar beradu padu, Tuhan Beradu Satu, kita lumut jadi batu

Asap tungku emak

enting gugus mayapada, cakra senja barat kuala, nyiur nan nyiyir, andalas reka pituah pepatah,aih... periuk duduk ditungku jauh, perih mata disini memerah, asap nasi menukik pula. Berupa-berupa menutur selera.

Mukaddimah

(Dengan Menyebut Nama Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyanyang)
semoga jangan
sajaksajak yang lahir dibumiNya ini
menjadi berhala baru dalam jalan lain penyembahan

penyair bukan jibril
yang Turun dengan jubah cahaya
lalu singgah ditengah manusia
membersihkan hati dengan zamzam hingga kudus,


Tuhan kami
sajak kami biasa
tak firman dan tak wahyu
tak ditulis dalam surga
tak bararti apaapa dihadapMu yang maha Indah
: ampunkan kami yang sempat terbawa

"Puting Susu"

Aku tak berada di puting susumu
tidak usah takut kau mencumbu
mari nestapa ini akan kita susun bersama
menjadi sayapsayap kedamaian menuju bulan
dan...
: PUncak marah atas TINGkahmu yang menyuSUn Kecewa, kini SUdahlah kutinggalkan lupa

5.16.2009

JUDUL

meskipun datang badai menggulung malam
tentu bukan aku atau kau yang menjadi pagi
debur mendentum dada kelam
sunyi menggelar sengketa hati

dan kita asing, terpaku meratap akan tanya
sampaikah jiwa pada puncak peretas mimpi?
dimana sumpah dan peluh tlah terkuras dalam
malam membungkus kita kawan,
di batas sadar dan resah,
segala berlalu!

dalam sepucuk sajak cinta berbungkus debu
kau selipkan ragu yang membaru,
tanyamu,
dalam keakuan yang tak putus menjunjung sedih.
kukatakan saja dari sini aku akan lebih hidup
cukup hanya dengan mengenangmu,
; sebagai nyala yang tak padam

dingin semakin merasuk, gigil membuncah sunyi
malam beku! Selimut sajak mempertebal rasa,
kita masih terjaga





* Apresiasi untuk kawan
MH Poetra
Mari kita yakini.. kita adalah perang dalam perang.. dan kekuatan itu adalah diri kita sendiri

5.05.2009

Kami adalah Bagian Zaman yang belum berhenti mengerang

patut memantaskan kepingan-kepingan bulan itu menjadi ritme yang kandas, terlunta merangkak ditingkah injak pinjak beragam rupa, sama berjejer dilumat kumis dan ketiak dahaga, menahan bau dan geli, hingga kematian berikutnya semakin terbiasakan

punah melamunkan benak yang bersidekap diam
habis masa tertinggal dalam ketinggian yang menjadi puncak orgasme yang terlupakan. ku pun tahu, yang kita pikirkan adalah zaman yang kita diami adalah kesunyian tanpa batas, yang berlalu berlalulah,

setitik yang kau pajang menjadikan pancuran penghabis ruh dibadan
sementara kami yang apung kian tenggelam, sekalipun tidak digenangi berjenis apapun selain mantra-manrta yang dibacakan berbisik.

biar gelora dan amuk kami tuai atas perselingkuhanmu
sebab kami adalah zaman dari kesunyian yang kau onanikan
tubuh yang gemetar adalah pertanda setia atas murkamu
yang sampai saat ini belum berhenti mengerang

4.30.2009

Bukan Jejak Telapak Kakimu

aku bukan seperti butiran pasir
pada setapak jejak kakimu
tapi aku lebih pada
bentang seluas jilatan ombak yang belum sempat kau pijak

aku bukan lembaran yang sudah kau sajakkan
hingga aku menjadi kesimpulan yang ada pada genggamanmu
tapi aku adalah buah senggama perenunganku
dari segala yang mengendalikan aku, bukan kamu

aku akan berlalu kemana saja inginku
tak usah kau membuka pintu rumahmu untukku
dimana aku terkapar disitu aku mati
dalam caraku yang selamanya tak pernah memenuhi caramu

4.27.2009

Semedi Kata

ini yang terakhir kugeruskan pada luka matahatimu, biarlah yang terucap akan memberi genang basahmata, maaf jika dalam perhelatan tertinggi ini aku tak turut, menyedu secangkir coklat panas yang telah kau pesan sejak matahari itu belum memerah. Nak.. kau ciumi bau yang ada disetumpuk kuburku.. niscaya kau akan mengerti, takdir itu tertulis jauh sebelum kau mengenal kesedihanmu sendiri.

4.23.2009

Tuhan... Beri Aku Jeda Untuk Berperang

sementara tetabuhan kian gumuruh, keapaadaan senantiasa bisu, terseok disandung oh disandung, yang tak terlawan menghujam bumi mencaci maki.

pelita redup kianlah redup disambar angin nan salah jalan
demikianlah kisah hingga yang terpendam makin membenam
kuputus-putus cercah cahaya dengan telapak jari
maksud hati yang menghitam, menuntut balas atas doa yang tiada tersempatkan

Tuhan Oh Tuhan yang bukan perempuan
apa daya mengirim pinta yang haruslah sampai dilangitMu segera
hamba manusia seperti manusia
bagai pasang menggenang, pun jua bagai surut nan menyurut

duhai takdir duhai nasib mari berperang
amuk yang amuk sungguh makin tiada tertahan
sebelum tega tikam-menikam
tunggu sejenak aku ingin beristihqfar

4.20.2009

Tak kuberi Judul

bukan dari setiap bola matamu selalu aku menyulut rindu
tapi aku mulai lalai menidurkanmu
hinga sepagi ini kau masih setia mengetuk biduk kayuku yang dipeluk lumut
berlomba dengan dengus nafasku menghantar ransum cintamu

umpan sudah kutabur,kail sudah menyelam
biarkan kita saling menunggu
hingga bau dan rupamu menjilat-jilat kayuh perahu yang menuju
tunggu aku yang ingin merajai seluruh bahagiamu, di tempat biasa kita bersetubuh tatapan

pun segulung jala dan ombak yang kukawinkan
bermain dilautan, bercinta menghadap awan, berharap di langit bersiteguh dalam karang yang kesemuanya demi mu yang sedang menjalin seprai tempat tidur untuk kita nanti malam

dinda, nanti setelah sampai, kau dekap aku seerat-eratnya dekapanmu
dalam bau tubuh ini akan ada pengertian yang akan meluluhkanmu untuk segera berserah rasa

4.18.2009

Ketika Aku Berkisah Kita

Sayang
aku bukan duniamu
bukan juga harimu
aku hanya bagian dari apa yang kau rasakan
jangan kau jadikan aku yang belum tentu setia ini
menjadi apa dari adamu sepenuhnya
sebab jodoh belum dibocorkan Tuhan

Nikah Embun Pagi

kaldera berkabut
yang kutatap sedemikian telanjang
berlari kecil gerigi kerikil
menimpa ubun-ubun pagi
senyap hening kubahasakan cinta diam-diam
"huh..aku terima nikahnya embun dan pagi
dengan mahar segenap yang tak kua miliki, .. TUNAI"

4.16.2009

Tafsir Cinta Tak Terterka

mulai sepetak hati nan ranum ku hitung jendelanya
menerka cinta yang dikandung
menebak rindu yang terpasung
sampai menggigit bibir pun
tak mampu kujumlahkan

cinta pergilah berlari dibawah hujan
basahkan seluruhnya
mungkin
hanya dengan ini aku mengerti
cinta disiram hujan menjadi basah

Anjungan Perahu Bercadik

kutulis dikau pada bau dan rembulan
menjadi malam dan pelepah terlama
menghadang langit turunkan segera

duhai gelisah nian menyengat
terpecah jua kan kiranya
memancang sauh menjulur mata

tentang tanah di lenguh camar
bersajak anjungan perahu bercadik
pulang senja menjemput bekal

dirimukah yang sedang menyemai
menabur tumbuh menanam tuai
berkisah riak di bawah awan
membaca mantera menahan dahaga

Ditepian Ruh yang Hilang

Akan kepadaMu lah Kami kembali
kami dan segenap yang ada pada adalah kesementaraan yang tiada terbantah
mengayuh dan menjaring kecintaanMU dalam sela-sela keterjalan gemuruh iblis mahasesat
melayari semilir, pun jua badai yang menjadi keniscayaan bentang kehidupan

dan akan kepadaMu lah kami kembali
hingga yang tertinggal adalah kesempatan
dari kisah-kisah persaksian
sebab ini akan di hitung oleh timbangan mahakeadilan

dan turutlah padaMu
yang di panggil dini hari
Ia adalah milikMu sepenuhnya
sementara kami berjalan menuju terdahulu yang telah sampai

ditepi Ruh yang hilang
adalah kebenaranMu yang datang
sungguh..
kerelaan adalah kepantasan menjumpai hikmahMu Tuhan

Ia yang Telah Menjadi "Jalan"

ini kisah nestapa pada tanah-tanah lapuk yang menjemput nyawa dalam raga terbawa gelap yang demikian basah
tanggul tua merebah di dini hari membawa aroma murka
membentang ia yang nyata menjadi tragedi dengan ruah setinggi teriakan menyembunyi azal
tiada bisa... peran-peran itu hilang sekejap menjadi diri-diri yang tiada

apapun dia dari kejauhan sudah terlihat menjadi masa yang tertinggal diam
sajak-sajak terbit kehabisan bahasa sebab kata yang selalu berduka
doa dan lantunan ampunan pertaubatan menjadi pengisi penutup kisah
sungguh demikianlah yang tergerak dari mulut ahli musibah

perenungan itu tampak jelas
dimana Tuhan membagikan teguran dalam air yang semula tenang
situ gintung
telah menjadi "jalan"


(dimuat di Tabloid Mahasiswa Suara USU edisi 69/XIV/April 2009)

4.14.2009

hmmm

......
......
......
(yang teramat ku sederhanakan)

cinta masih disini
......
......
titik

3.30.2009

Jalan Lain

ini kalanya terpinggir musim
kuyup bersama angsa pulang ke tepian
ikut terbawa permainan hujan
yang rintik di daun mata bersilauan

deras ia menindih mati kaki
lalu menghayut fikir yang terbentur jalan
oh.. aku yang merenangi nasib
kehilangan cara untuk bertahan

sementara aku berlabuh di lumpur
teruskanlah doa memapah harap
mungkin aku memilih jalan
dalam daratan yang tersisa

Teman Kata

aku yang masih mengawali langkah
memfilsafatkanmu, mensejarahkanmu, membahasakanmu
lalu menghidupkanmu dalam kata-kata
hingga kau bisa bercerita banyak tentang hidup

kau teman kata yang hilang setengah musim
setelah dingin sendiri di gigit malam
hampir kering di tunduk terang
aku percaya dahagamu kan kosong sekalipun ku tinggalkan kau di padang kerontang

dengan nyiur yang selalu melambaikan pesan ku dalam separuh waktu
menyempatkan padamu sapa bersalam rindu
lalu menjejakkan kisah yang jua kan ku lamunkan padamu
dipertemuan februari hujan
mari kawan kita membaca sajak dengan khidmat

Tiada Kau Yang Kan Ada

aku selalu belajar menggilaimu
sampai terkatung aku entah...
memfirasatkan mu selalu dalam bentuk kemauan keindahan milikku
hingga senja buta itu menegur, aku adalah ketidakmungkinan untuk mu

kembalilah kau surut ke pantai
tunggulah ombak menjilat angan
angin adalah pembawa
dari segala kekosongan rasa

semakin aku menyadarkan itu
aku semakin dihempas entah
di kota mana ia tidak ku temui
disanalah aku terdampar selalu

ini aku mengurung kisah
melingkar cerita
menimbun keinginan
mematikan langkah yang akan sia-sia
sebab hati itu tiadalah paksa
katamu di sebuah pesan singkat dini hari.

3.28.2009

Gemuruh Subuh

Malam bergerigi tajam
mati kerandakan sesejuknya pejam
bola bening lihat tertaut diludah deru pagi menjilat terang benderang
aku yang hidup, lalai manja kumandang subuhMu Tuhan

3.24.2009

Doa Gerimis

ini yang berjatuhan dari langit
membawa kepada sepetak ruang tempat bertarung nestapa

oh pada temaram ku dukakan gelisah
gerimis beringas menggulungku pada ibu yang ku harap tidak terluka

aku mencarimu di kepingan manasaja tempatku berkisah
menyandarkan segenap, seluruh. segala, sedemikian rupa keperihan

ini malam selasa basah
Tuhan menegurku sekiranya

ini malam memberi sebab
untuk pagi ku yang akan resah

ini malam aku bermunajat kepadaYang Rahram ya Rahim yang Esa
sujud ku dalam padam keingatan yang hanya nyala padaMU

Aku bermohon untuk telapak kaki yang berisi surgaku
andai cobaan itu kau hadiahkan sebagai bentuk kasihMu
jangan akhiri keputusanMu
sempatkan aku untuk bersama memberinya bahagia

Pagelaran

ini pagelaran setan apa manusia yang sedang bermain drama
berubah wudud
bertukar rupa
seperti manusia mencontreng manusia menjadi Tuhan

3.23.2009

Sang Sesat

menghadap botol
aku sujud
memuja perkampungan jin
betapa bahagia nya kekafiran ini Tuhan

3.22.2009

Kalimat Kusut

sampai dimana arakan awan mu Tuhan
Aku menantang
mencariMu di langit yang tak pernah menjatuhkanku uang seperti hujan

"nikmat mana lagi yang kau dustakan"

kalimat kusutku
mundur menyurut
betapa meruginya aku jika di paraghrap ini Kau cabut nyawaku Tuhan
sebelum aku sempat menulis kesadaranku

ampunkan aku Tuhan
memanusiakanMu dalam kekalutanku