harus kubiarkan sajak ini menulisku
kemana saja ia suka dan kemanapun ia akan berhenti
kubiarkan
tulislah aku menjadi, hingga keluar kesunyian ini.
penghujan akhir tahun
diatas duka yang sedang ranum
kutuangkan arak dan tuak, membasuh lara disana
menjadiilah sajak hujan basah
izinkan Tuhan aku mabuk
hingga kudapati KAU dalam hilang sadar yang ambang
sebab jua sudah kutunggu berpuluh pinta
tak satupun, tampatMu yang bisa kulamar
harus kubiarkan sajak ini mengayuhku
sampai ombak menenang sampai arus tak urus
usaplah aku menjadi
laut dan pelangi
izinkan Tuhan aku membenciMu
hingga kudapati KAU menjadi sebentuk cinta
sebab jua sudah kupinang berkali datang
tak sekalipun, senyumMu dapat kutawar
harus kubiarkan sajak ini membawaku
sampai jalan kudapati rambu
kejarlah aku kepada
perhentian tanpa upah
izinkan Tuhan aku menuduhMu
hingga kudapati KAU menjadi siapa
hilanglah gamang pupuslah resah
tak sesiapa aku tanpaMu yang Maha
Panyabungan Mandailing Natal, Ramadhan 13/Bambang Saswanda Harahap
10.11.2010
Kami Bukan DPO
kepada anak kami
Jikapun kemarau hari ini masih panjang
Hiruplah embun ketika kalian bangun esok pagi
Mungkin disana ada bau dan wajah yang bayang
Kepada istri kami
Sampaikan genggam tangan dan janji beberapa waktu lalu
Kepada bau rumah dan tungku
Kami baik-baik saja, semoga selalu
Kepada kampung halaman
Jangan lagi tanya seberapa perih dan takut kami
Sebab perih sudah ditanam
Sebab takut sudah ditikam
……………………………………………..
Kelam sedang menari di badan bulan
Menanda hidup lebih besar dari sekadar jalan
Kawan, zaman memaksa kita harus berburu
Dimana tubuh siap menjadi peluru
Kepada mereka para pemuka
Mari! Kita serah darah untuk kebenaran
Bertangan kesadaran. Berkepala kepercayaan
Menembus kabut terus di hari buta
Kata-kata adalah senjata
Mimpi-mimpi adalah kemudi
Aku berkata mempersatu jiwa
Mengimpi kendali mencipta abdi
sambil kucingan dengan aparat
Ayo! kita nikmati waktu yang sekarat
Hingga terkejar fajar
Sebelum nanti dalam dada ada gentar
Medan, Ranah Nata 2010
Bambang Saswanda, Mh Poetra
Jikapun kemarau hari ini masih panjang
Hiruplah embun ketika kalian bangun esok pagi
Mungkin disana ada bau dan wajah yang bayang
Kepada istri kami
Sampaikan genggam tangan dan janji beberapa waktu lalu
Kepada bau rumah dan tungku
Kami baik-baik saja, semoga selalu
Kepada kampung halaman
Jangan lagi tanya seberapa perih dan takut kami
Sebab perih sudah ditanam
Sebab takut sudah ditikam
……………………………………………..
Kelam sedang menari di badan bulan
Menanda hidup lebih besar dari sekadar jalan
Kawan, zaman memaksa kita harus berburu
Dimana tubuh siap menjadi peluru
Kepada mereka para pemuka
Mari! Kita serah darah untuk kebenaran
Bertangan kesadaran. Berkepala kepercayaan
Menembus kabut terus di hari buta
Kata-kata adalah senjata
Mimpi-mimpi adalah kemudi
Aku berkata mempersatu jiwa
Mengimpi kendali mencipta abdi
sambil kucingan dengan aparat
Ayo! kita nikmati waktu yang sekarat
Hingga terkejar fajar
Sebelum nanti dalam dada ada gentar
Medan, Ranah Nata 2010
Bambang Saswanda, Mh Poetra
4.09.2010
dan perahu kertasku

kukayuhkan kepadamu syair perahu dari pelepah katamata dan aku ingin mengalamatkan kengen ini
dijantungmu. semalam saja mumpung hujan tak mengamuk seperti bulan kemarin yang selalu pucat
perahuku perahu kertas yang kutuliskan syair tentang kangen
ini kualamatkan kepadamu dengan mantra;
sampai bilakusampai makakusampai rindukutiba menaruh istilah.
bacalah sayang sesampai airmatamu menjenguk ketibaan yang tergesa
berlayarlah perahuku yah perahuku, lipatlah ombak dan angin menjadi pita rindu diburitan sajakmu
; aku menikam perasaan, hanya untuk bisa mengekalkan rindu kepadamu
bilapun sampai kepadamu malam ini segera kaualamatkan kepada kisah jika yang tiba dan pergi adalah kesemantaraan yang tak sempat kita tuliskan didalam catatan..
kesimpulannya hanyalah cara, dan betapa akhirnya adalah sesuatu yang tak mampu untuk kita maknai lebih dari sekedar kenang yang akan mengganggu malam ini dan malam berikutnya. sampai kita menyadari betapa rencana berhak menentukan apa yang terjadi atasnya. diluar pengaruh kau ataupun aku.
sampailah, biar kata bertegur sapa. tanpa kau ataupun aku yang menemani pertemuan
Medan/maret 2010
Bambang Saswanda Harahap
#kutulis satu (biar ini sampai kepada entah atau..)

berangkat dari kekalahan kita ingin menarik nafas untuk tumbuh mencari jalan pulang
kembali kedalam air susu ibu yang sesungguhnya adalah mata-mata tuhan
melihat kedahagaan menuju surga dalam selang waktu membentang
bersemedi anakmu dalam kulit arinya, menjadikan berpilu-pilu nada panjang menahan.
sepulang dari rantau ia mengupas kulit bawang di bawah jendela rumah
sesekali terdengar matanya berdesakan terkatup merapat membuka membuncah
sesekali meringis bibirnya menyesak terkatup merapat membuka mendesah
sesekali itung lamunya meraung tertakatup merapat membuka menjadi
Gelisah
puasalah nak dari menangis, sampai beduk nasip diketukNya
kata ibu yang mewarna uban di kepala
petang tiba jerang tungku menyala seperti menjilat lapar yang sedang menahan di lidah
senja sampai didih tanak melambung-lambung keujung-ujung menjangkau perut menangkap lambung
akhirnya tiba jua engkau nan gelap
malam bertamu
ia berbuka tangis
nasi belum dikunyah ibupun tiada
Tuhan menghidang kasihNya
puasalah nak dari menangis, sampai beduk nasip diketukNya
medan/19 maret 2010
04.50 Wib
Bambang Saswanda Harahap
# Permaianan satu (biar ini kutulis sampai kepada entah atau..)
ilalang. taukah kau tentang bayang-bayang jika dirimu adalah luka yang rapat. pucukmu renta menusuk paru-paru belalang. hinggap dan terbang lalu terhuyung dibawah bulan. mati dan semakin mati dan masih mati dan harus mati dan mati.
lalu di sebuah halaman sekolah bahasa tercecer kertas bekas pembungkus martabak. tertulis sajak mati dari seorang penyair yang entah berapa puluh kali kawin dan bercerai, tapi bukan dengan perempuan, ia kandas dalam katanya setelah rujuk dan pisah lalu rujuk lagi. hingga suatu saat ada perdamaian diantara mereka. saat dimana tubuh dengan rambut panjangnya tergeletak ditikungan jalan, menurut bisik tetangga penyair itu menuju kota mencari tuhan kata-kata, ingin menyerahkan selembar ijab kabul. namun naas jalannya patah dan ia berkeping tepat di bawah sebuah roda mobil besar buatan negara tetangga.
mati itukah kata yang diikuti tanda titik. atau hanya koma. setelah melepaskan diri dari siksa, ejaan mati akan melanjutkan perjalanan kedalam kalimat penutup.
kembali ke padang ilalang. menyaksikan angin dan capung bermain-main diantara tali layang-layang.
kata-kata dan kematian akan saling meninggalkan bekas. seperti tarian ilalang, setelah angin berlalu maka hujan berlabuh, meninggalkan bekas basah yang akan mengering lalu menghinggap lalu para capung berpesta pora melepas dahaga, dan.. semuanya akan seperti itu, tiba dan pergi lalu tiba dan pergi lagi hingga tuhan bosan dengan permainan yang itu-itu saja.
medan/18 feb 2010.
01.35 wib.
bambang saswanda harahap
lalu di sebuah halaman sekolah bahasa tercecer kertas bekas pembungkus martabak. tertulis sajak mati dari seorang penyair yang entah berapa puluh kali kawin dan bercerai, tapi bukan dengan perempuan, ia kandas dalam katanya setelah rujuk dan pisah lalu rujuk lagi. hingga suatu saat ada perdamaian diantara mereka. saat dimana tubuh dengan rambut panjangnya tergeletak ditikungan jalan, menurut bisik tetangga penyair itu menuju kota mencari tuhan kata-kata, ingin menyerahkan selembar ijab kabul. namun naas jalannya patah dan ia berkeping tepat di bawah sebuah roda mobil besar buatan negara tetangga.
mati itukah kata yang diikuti tanda titik. atau hanya koma. setelah melepaskan diri dari siksa, ejaan mati akan melanjutkan perjalanan kedalam kalimat penutup.
kembali ke padang ilalang. menyaksikan angin dan capung bermain-main diantara tali layang-layang.
kata-kata dan kematian akan saling meninggalkan bekas. seperti tarian ilalang, setelah angin berlalu maka hujan berlabuh, meninggalkan bekas basah yang akan mengering lalu menghinggap lalu para capung berpesta pora melepas dahaga, dan.. semuanya akan seperti itu, tiba dan pergi lalu tiba dan pergi lagi hingga tuhan bosan dengan permainan yang itu-itu saja.
medan/18 feb 2010.
01.35 wib.
bambang saswanda harahap
Tidak ada sajak di atas meja
Ini waktu tua atau masih muda
Apakah cukup uban penanda di kepala
Bukankah ini tipu daya
Agar menyerah kepada malam yang raja
Dimana muda tersimpan wahai pisau cukur dan parfum
Kini cerita gundul dikenang mendesak
Tinggalah Kacamata dan kisah neraca yang mahfum
Punya jalan siasat, hingga pukul berapa musim tersedak
kendaraan tua mengapa tiba tergesa
Sementara jamuan masih menunggu tanggal
Cukupkah perhelatan hanya dengan secangkir kopi dan selembar kafan
Tidakkah menunggu sajak, disempurnakan sebagai kata sambutan
Medan, November/bambang saswanda harahap
Apakah cukup uban penanda di kepala
Bukankah ini tipu daya
Agar menyerah kepada malam yang raja
Dimana muda tersimpan wahai pisau cukur dan parfum
Kini cerita gundul dikenang mendesak
Tinggalah Kacamata dan kisah neraca yang mahfum
Punya jalan siasat, hingga pukul berapa musim tersedak
kendaraan tua mengapa tiba tergesa
Sementara jamuan masih menunggu tanggal
Cukupkah perhelatan hanya dengan secangkir kopi dan selembar kafan
Tidakkah menunggu sajak, disempurnakan sebagai kata sambutan
Medan, November/bambang saswanda harahap
Apakah kau perempuan yang aku maksud?
Tanya kepada bagian tubuhmu, semoga saja isi kepalamu mampu menjawab
aku masih baik-baik saja, sore nanti aku akan memancing di danau kepunyaan Tuhanku, jika kau ingin menyertaiku, datanglah pukul setengah tiga ke pemakaman di belakang musholla seberang jalan, tanyakan kepada kerumunan yang sedang berdoa, apakah namaku yang mereka sebut
: semoga kau ditempatkan di sisiNya
jangan kau salah sangka dulu, itulah cinta, acap kali membutakan matamu, ketahuilah aku tidak sedang bicara kematian, aku sedang menguji kekhawatiran, mulai besok kau basuh lagi segala apa yang ada di dirimu tentangku, lalu kau jemurlah di depan rumah, mungkin air deterjen terbaik yang kau beli di hypermarket terkenal di kotamu, akan mampu membersihkan ketidakmengertianmu tentangku, dan semoga juga matahari akan bisa membantu mengeringkan segala yang basah yang akan membuat tubuhmu sakit.
mungkin jarum jammu yang tidak mengerti, betapa waktu adalah kesungguhan, aku membenci keterlambatan tapi bukan menghamba kepada kecepatan, turuti semampumu, tak perlu kau beriba-iba dengan kemacetan dan keluangan yang selalu saja mempermainkan jalannya perasaan, tak akan luluh detak jantung karena airmata dan tak akan runtuh penyangga tubuh karena isak yang meledak, sebab kita bukan luka-luka yang tersusun dengan paksa.
ah sebentar, tadi malam telah kutitipkan mawar kepada ibumu, namun itu bukanlah ceritia keromantisan yang akan kita umbar di depan meja makan atau jalanan, aku ingin kau merawatnya dan menjadikan ia bagian dari tamanmu, sebelum kau berjanji tanpa bukti kepadaku, akan menjagaku sampai matiku atau matimu.
tanya kepada bagian tubuhmu, semoga isi kepalamu mampu menjawab, apakah kau perempuan yang kumaksud?
aku masih baik-baik saja, sore nanti aku akan memancing di danau kepunyaan Tuhanku, jika kau ingin menyertaiku, datanglah pukul setengah tiga ke pemakaman di belakang musholla seberang jalan, tanyakan kepada kerumunan yang sedang berdoa, apakah namaku yang mereka sebut
: semoga kau ditempatkan di sisiNya
jangan kau salah sangka dulu, itulah cinta, acap kali membutakan matamu, ketahuilah aku tidak sedang bicara kematian, aku sedang menguji kekhawatiran, mulai besok kau basuh lagi segala apa yang ada di dirimu tentangku, lalu kau jemurlah di depan rumah, mungkin air deterjen terbaik yang kau beli di hypermarket terkenal di kotamu, akan mampu membersihkan ketidakmengertianmu tentangku, dan semoga juga matahari akan bisa membantu mengeringkan segala yang basah yang akan membuat tubuhmu sakit.
mungkin jarum jammu yang tidak mengerti, betapa waktu adalah kesungguhan, aku membenci keterlambatan tapi bukan menghamba kepada kecepatan, turuti semampumu, tak perlu kau beriba-iba dengan kemacetan dan keluangan yang selalu saja mempermainkan jalannya perasaan, tak akan luluh detak jantung karena airmata dan tak akan runtuh penyangga tubuh karena isak yang meledak, sebab kita bukan luka-luka yang tersusun dengan paksa.
ah sebentar, tadi malam telah kutitipkan mawar kepada ibumu, namun itu bukanlah ceritia keromantisan yang akan kita umbar di depan meja makan atau jalanan, aku ingin kau merawatnya dan menjadikan ia bagian dari tamanmu, sebelum kau berjanji tanpa bukti kepadaku, akan menjagaku sampai matiku atau matimu.
tanya kepada bagian tubuhmu, semoga isi kepalamu mampu menjawab, apakah kau perempuan yang kumaksud?
Langganan:
Postingan (Atom)