7.10.2009

Melika

aku utara hanyut dengan segenap bintang yang kupunya
sementara kau barat cahaya tempat kisah tertinggal benam


dulu padamu aku pernah menetaskan anak-anak rahimku yang seluruhnya rindu
berharap setaman kita menganyam rasa, bercinta menjanjikan bunga dan kupukupu tetap bercumbu

setelah sepenggal demi sepenggal masa itu kuturuti sepi
tanpa janji meninggalkan aku sendiri di kota ini dengan rimbun gundah yang tak mampu kusiangi sendiri
tiba-tiba saja kau hadir dalam sebentuk senar tak berirama, hanya senar, menancap di pangkal leherku, menembus ke jantung, lalu melilit dihati dan meluruskan ususku seperti jalan pergimu yang tak mampu kuhadang

seketika...

seketika kau penggal lamunku, irisannya kau tuang dalam secawan bola mata yang terbelah, yang kau jadikan tetabuhan melebihi kecepatan rasa sayang itu sendiri, menjadi dentum malapetaka, melebihi malapetakanya cinta yang sedang terbaring koma.

dan pada...

pada enyah mentari, pada ungsi gugus cahaya, pada kelam, pada segala hitam, akan kudukakan perlakuanmu yang demikian melambungkanku sekejap, seakan-akan kau sedang berdiri dengan jubah putih memagang tongkat yang ujungnya berbintang, lalu kau susun sedihmu, kau hujani aku dengan airmatamu hingga aku mengigil perih

melika
sudahlah bawa bahagiamu lalu sisihkan sedihku
sejak lingkar cincin cintamu terikat, usah kau gaduh aku dengan puisimu
keatas ranjang pengantinmu esok, katakan aku tak mengapa dan tak siapa

takkan ada putar ulang masa
sebab segalanya mulai teduh tanpamu

Hari haru

Perlahan kami sama-sama mengkerat luka yang tertimpa di ibu jari
induk dari kepedihan,menyerat pedih menjadi masing-masing pusara
tingkah perlakuan apa yang berdiam dalam mimpi-mimpi malam ini
terpeluk sekali pagi, entah mana derak yang patah, lalu derai pula airmata

ngilu padamu ini tak pernah kami sampaikan oh nan padam terkenang
yang kami tahu titik-titik pada bilah pedang matahari ini
adalah mata yang beradu dengan mata kami
silau mana yang akan mengedip, lalu nyawa mana kan berpulang

tak terjawab semestinya hari ini hari apa
tak terkira semestinya berapa kematian sudah yang kami tangisi
yang ada esok, lusa dan kapanpun derita itu singgah
perlakukan dengan santun, laksana kita adalah ibu dari mahabijaksananya matahati

sekali waktu dimana nanti peran berganti
akan kami titip luka, pedih dan airmata ini pada Tuhan
akan kami ceritakan kepada anak cucu kami bahwa kehidupan ini begitu menyenangkan
turunlah.. jejakkan kakimu pada bekas jejak kaki kami yang darahnya mengering sepi

Tadarus kesunyian

Tadarus kesunyian khusuk pada musim-musim yang tak henti berputar
bayang-banyang pun entah, berlari dari satu padang kepadang lainnya
membaca apa saja yang lekat dalam sadar
mengilhami alam lain yang ada di luar tubuh manusia

satu kalimah itu begitu sahaja
membangunkan detak jantung yang bernyanyi bisu
sujud semesta pada satu yang ada dan tiada
sunnah dan fardhu seirama berlaku satu

ya Tuhanku
tadarus kesunyianmu ini begitu perkasa mempersatukan langit-langitmu besarta megacahaya
hitam dimataku terang bagiMu
alam yang bergandengan, akur menuju satu sajadah sujud yang searah

dengung dan ngiang meremuk redamkan tulang
dari tak bersuara lalu menggema hadir dalam barisan ibadah
dentum mendentum seluruh jagad raya yang terbentang
dalam sunyi, dzikir sahut bersambut padaMu berserah

Kutunggu kau di kilometer debar

kutunggu kau di jalan bersimpang
seribu kilometer debar
membahas lekuk rindu
yang semakin memar

adakah kau rasakan angin itu menguntit
segala tapak dan bau kita
mengitari curiga
kemana rasa kan dibawa

kemas senyummu
susun rapi seperti semula
mari kita tipu semesta
dengan lari sejadi-jadinya